Selasa, 21 Desember 2010

PIAGAM KEHIDUPAN

Suatu malam selepas isya berkumpullah satu keluarga ayah, ibu dan ketiga anak mereka di sudut ruang tamu. Di atas sofa tempat mereka duduk, terpajang dengan rapi deretan piagam penghargaan yang diperoleh sang ayah yang hampir memenuhi sudut ruang tersebut. Wajar saja karena sang ayah adalah seorang yang sukses di perusahaannya dan mempunyai jabatan yang cukup tinggi. Sementara di sudut kirinya terpajang pula deretan piagam penghargaan ketiga anak mereka atas prestasi mereka di sekolah maupun beberapa perlombaan yang pernah mereka ikuti.

Tiba-tiba si bungsu berkata dengan penuh semangat “papa... nanti kalau aku tambah besar, pasti piagam yang aku punya akan melebihi papa !”, “ya bagus nak, kalian semua akan menjadi anak-anak yang pintar dan berprestasi seperti papa” jawab sang ayah. Kemudian anak yang lain menimpali “kita semua punya piagam yang banyak, hanya mama nih yang tidak punya...”. Ayah pun menyahut “ya karena mama kamu kan tidak bekerja seperti papa jadi tidak punya piagam “. Mendengar itu sang ibu tertegun sejenak lalu tersenyum seraya memeluk si bungsu serta mengusap-usap kepala kedua anaknya yang lain.

Topik pembicaraan pun berganti, malam itu mereka lalui dengan penuh keceriaan dan senda gurau hingga akhirnya kantuk jualah yang mengantar mereka ke pembaringan masing-masing.

Pagi harinya ayah dan ketiga anaknya mendapati ibunya tengah termenung di ruang tamu sambil memandangi foto keluarga ukuran besar yang terpajang di ruang tamu dan sesekali beralih pandangannya pada sesuatu yang diletakkan di atas lemari kecil persis di bawah foto besar itu.

“Sedang apa ma ...? tanya mereka hampir bersamaan, “Lihatlah di atas lemari itu ! hanya tiga piagam itu yang mama punya...” ujar sang ibu sambil tersenyum penuh arti. Betapa terkejutnya sang ayah ketika mengetahui bahwa benda itu adalah tiga buah Akte Kelahiran atas nama ketiga anak mereka.

Dengan penuh keharuan sang ayah mendekap istrinya sambil berkata “Maafkan papa ma ! kalau ucapan kami semalam membuat mama tersinggung ...”, “Seberapa banyak piagam penghargaan yang papa punya, tidak berarti tanpa ketiga piagam itu, karena mama lah anak-anak bisa memiliki banyak piagam, ma... begitu banyak ibu yang berharap mempunyai piagam itu, tapi belum diberi kesempatan untuk dikabulkan oleh Allah dan tidak sedikit ibu yang berhasil mendapat piagam itu tapi tidak mampu merawat dengan baik hasil dari piagam itu”, “Sekali lagi maafkan papa ma !!, kamulah pemilik piagam sejati itu, kamulah pemilih
PIAGAM KEHIDUPAN itu ....”.

Pagi itu cuaca begitu cerah dan tidak ada mendung sedikitpun pertanda hujan akan turun, tapi pipi mereka dibasahi oleh hujan tangis keharuan dalam pelukkan kebahagiaan.

Sebuah renungan yang menegaskan bahwa IBU adalah pemilik
PIAGAM KEHIDUPAN, yang untuk mendapatkannya dilalui dengan penuh perjuangan dan pengorbanan antara hidup dan mati, sehebat apapun piagam dan penghargaan yang kita dapatkan tidak ada yang pantas untuk kita sombongkan jika mengingat pengorbanan yang telah diberikan untuk kita, terima kasih ibu.

Share

Jumat, 10 Desember 2010

Kemana Arah Kita Melangkah?

Suatu ketika ada tiga orang tukang batu yang sedang menyusun batu bata dengan campuran pasir dan semen dalam proses pembangunan sebuah gedung. Kepada mereka lalu diberikan satu pertanyaan yang sama “Apa yang sedang anda kerjakan?

Tukang yang pertama merasa heran dengan pertanyaan tersebut hingga akhirnya menjawab sambil menghela nafas “ Ya jelas dong, sayang sedang menyusun dan meletakkan batu-bata”.

Sedangkan tukang yang kedua dengan sedikit tersenyum menjawab “Saya sedang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga saya”.

Lalu tukang yang ketiga dengan berfikir sejenak dan tatapan mata yang menerawang menjawab dengan penuh semangat “Saya sedang membangun sebuah masjid yang megah dan indah, dan suatu saat nanti akan ramai dikunjungi orang-orang yang beribadah dan nama Allah akan dimuliakan di tempat ini”.

Tak ada yang salah dengan jawaban ketiga orang tersebut, tukang yang pertama memberi jawaban yang realistis, memang benar dia sedang bekerja meletakkan batu bata, itulah rutinitas pekerjaannya dan jawaban tersebut menggambarkan perasaan lelah dan membosankan.

Tukang yang kedua memberi jawaban yang pragmatis, dia menyadari bahwa bekerja menyangkut urusan hidup, setiap orang perlu makan dan minum untuk hidup sehingga untuk itu dia bekerja agar mendapat upah yang dapat digunakan untuk menghidupi dia dan keluarganya.

Tukang yang ketiga memberi jawaban yang idealis dan mempunyai visi yang jauh ke depan. Dia menyadari bahwa pekerjaannya bukan hanya sekedar meletakkan batu bata dan bukan pula sekedar mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, dia mampu melihat bahwa dirinya sebagai bagian dari suatu pekerjaan yang besar dan mulia karena akan memberi manfaat bagi orang banyak, tidak hanya bagi diri dan keluarganya.

Kebanyakan orang hanya berfikir seperti tukang yang pertama dan kedua sehingga merasa bahwa pekerjaan kita sebagai rutinitas yang membebani kita, membosankan dan melelahkan, pandangan hidup pun menjadi sempit.

Jadilah orang yang memiliki rumusan visi yang jelas, ke mana arah tujuan hidup kita, yakinlah bahwa kita mempunyai visi, harapan atau impian yang mulia dan yakinkan pula bahwa kita mampu mewujudkannya dalam hidup dan kehidupan ini.

Share