Sabtu, 26 Februari 2011

Seribu Kata Seribu Doa


Suatu pagi di sudut ruang tengah, seorang anak sedang makan dengan lahapnya bersama ayah dan ibunya, ketika tiba-tiba dia tersedak dan memuntahkan sebagian isi makanan dalam mulutnya, ayah seketika menghentikan membaca koran dan berkata “kalau makan pelan-pelan dong ! kamu tahu tidak ? makanan itu dibeli pakai uang dan mencari uang itu susah, ayo dihabiskan makannya !”

Siang harinya giliran ibu yang marah karena mangkuk kesayangannya pecah terkena lemparan bola dari si anak, “ibu sudah berkali-kali bilang, kalau main bola jangan di dalam rumah ! lihat nih berantakan semuanya, dasar anak nakal...”.

Menjelang sore tiba waktunya si anak untuk belajar, sudah dua kali diperintahkan untuk belajar tapi dia masih asyik menonton tv, segera ayah mematikan tv lalu berkata “kamu mau jadi anak bodoh ya ? dasar pemalas !orang yang tidak mau belajar itu bisa jadi bodoh, anak bodoh nanti tidak naik kelas, kalau sekolahnya tidak tinggi nanti cari kerja susah, kalau tidak kerja tidak punya uang dan tidak bisa makan enak, kamu mau begitu ? ayo belajar !”

Dari deskripsi di atas sepanjang pagi hingga sore sudah berapa banyak kata-kata negatif yang diucapkan oleh kedua orang tuanya ? sebut saja : mencari uang itu susah, anak nakal, anak bodoh, anak pemalas, tidak naik kelas, cari kerja susah, tidak punya uang dan tidak bisa makan enak.

Di sekolah, pernah suatu saat ibu guru bertanya sesuatu kepada murid-muridnya, lalu dengan penuh semangat dan keyakinan yang tinggi si anak mengacungkan tangan dan menjawab pertanyaan tersebut dengan lantang, lalu apa yang terjadi ? Teman-teman sekelasnya menertawakannya dan ibu guru berkata “Jawaban kamu salah, ibu heran pertanyaan semudah itu kok kamu tidak bisa menjawab dengan benar, makanya jangan jadi orang yang tergesa-gesa !” Anak itu menjadi sangat malu dihadapan teman-teman dan guru. Bisa jadi keyakinannya mulai terguncang dan benih keraguan mulai tersemai dalam jiwanya, bagi sebagian orang inilah awal terbentuknya citra negatif diri dan belajar menjadi sesuatu yang sangat berat dan tidak menyenangkan.

Sebuah riset yang dilakukan oleh Jack Canfield di tahun 1982 terhadap 100 anak di sejumlah sekolah dasar di USA mengungkapkan bahwa setiap anak dalam sehari rata-rata menerima 460 komentar negatif dan hanya 75 komentar positif yang bersifat mendukung. Ternyata komentar negatif enam kali lebih banyak dari komentar positif, jika dihitung berarti seorang anak rata-rata menerima 3.220 komentar negatif dalam seminggu, 13.800 dalam sebulan dan 167.800 dalam setahun, lalu berapakah umur anak kita sekarang ? sudah berapa banyak kata-kata negatif yang ia terima dari kita?

Umpan balik negatif yang terus menerus dan berkesinambungan sangat berbahaya bagi perkembangan mental anak, bisa jadi setelah dewasa ia akan menjadi orang yang seperti diucapkan oleh orang-orang terhadap dirinya, seperti misalnya mudah menyerah mempelajari sesuatu setelah satu atau dua kali gagal dan keyakinan semakin tertanam bahwa dirinya memang bodoh.

Coba kita perhatikan pada saat anak sedang belajar berjalan, suatu proses belajar yang cukup rumit baik secara fisik maupun mental dan sepertinya mustahil untuk dijelaskan dengan kata-kata atau mendemonstrasikannya. Tapi ternyata si anak bisa melakukannya walaupun berulang kali tersandung dan terjatuh. Mengapa demikian ? Hal ini bisa terjadi karena pada diri si anak tidak mengenal konsep kegagalan, pada saat belajar berjalan ada orang tua yang mendampingi, meyakinkan dan mendorong untuk terus belajar berjalan, setiap keberhasilan selalu diakhiri dengan kegembiraan dan tepukan tangan sehingga memompa semangat si anak untuk lebih berhasil.

Manusia mempunyai dua macam bentuk pikiran. Pertama pikiran sadar yang berfungsi mengidentifikasi informasi yang masuk, membandingkan dengan data yang ada dalam memori kita, menganalisanya dan memutuskan apakah akan disimpan, dibuang atau diabaikan sementara. Kedua adalah pikiran bawah sadar yang mempuyai fungsi jauh lebih komplek, yaitu mengatur cara kerja semua fungsi organ tubuh kita, nilai-nilai yang kita pegang, sistem kepercayaan dan keyakinan terhadap segala sesuatu juga disimpan di sini termasuk memori jangka panjang kita.

Sebuah contoh bahwa pikiran bawah sadar mengendalikan sebagian besar pemikiran dan tindakan kita, bayangkan jika tiba-tiba dihadapan kita dalam jarak yang cukup dekat ada seekor ular kobra yang besar dengan suara yang mendesis, lidah yang menjulur-julur dan tatapan matanya yang tajam ke arah kita. Pasti sebagian besar dari kita akan berteriak dan lari ketakutan. Bagaimana jika sejak kecil kita diberitahu bahwa kobra itu mendatangkan rejeki, orang tua kita bisa sukses dan rumah yang kita tempati ini adalah hasil dari berjualan kobra. Apakah kita akan lari? Pasti tidak dan akan berkata “pucuk dicinta ulam pun tiba, ada rejeki di depan mata...”.

Pikiran bawah sadar tidak bisa menolak apapun yang kita masukkan melalui kelima panca indera, bahkan hal-hal yang tidak kita perhatikan secara sadar akan terekam dalam pikiran bawah sadar. Bagaimana dengan anak-anak kita ? Perhatikanlah apa yang berulang kali kita lakukan, ucapkan dan pikirkan terhadap anak-anak. Itulah yang nantinya akan membentuk mereka, dari bahan dasar ini mereka akan mengembangkan diri mereka melalui pergaulan dengan lingkungan.

Dalam keseharian saya coba untuk mengganti kebiasaan mengucapkan kata-kata negatif terhadap anak-anak dengan kata-kata positif sekecil apapun. Ketika si kecil tidak mau makan, saya katakan “ayo anak cantik dan pintar pasti makannya dihabiskan biar tambah cantik dan pintar...”. Ketika anak malas belajar, saya katakan “kaka kan anak pintar, kalau rajin belajar pasti tambah pintar, papa mama tambah sayang dan tidak segan kasih hadiah...” atau ketika si anak melakukan sesuatu yang kita tidak berkenan : “eee anak pintar, tidak boleh begitu ya...” dst.

Ada perbedaan ketika kita sebenarnya sedang marah lalu mengucapkan kata-kata positif dibandingkan mengucapkan kata-kata negatif. Kata-kata positif ternyata saya rasakan mampu meredam emosi dan membuat kita tambah sabar. Coba bayangkan jika kita mengucapkan kata-kata negatif dengan penuh emosi dan si anak tidak memperdulikannya, pasti kita tambah marah dan bisa jadi jika seseorang yang sempat berucap “dasar anak setan...” atau “dasar anak tak tau diuntung...” berujung pada kekerasan fisik terhadap si anak.

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Tiga orang yang doanya pasti terkabulkan, doa orang yang teraniaya, doa seorang musafir dan doa orang tua terhadap anaknya". Dari Abdullah bin Amr bin Ash, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua”.

Banyak kisah yang menggambarkan bahwa betapa manjurnya perkataan atau doa ibu atau ayah terhadap anaknya baik yang diucapkan secara sadar maupun tidak, berikut ini adalah salah satu kisahnya.

Seorang ibu tergopoh-gopoh mendatangi anaknya yang menangis sambil menunjuk-nunjuk dengkulnya, terjadilah dialog dalam bahasa Jawa yang artinya kurang lebih sebagai berikut “Ada apa nak kok menangis terus?”, “Ini bu ada kotoran ayam, buang bu!”, ibunya pun segera membuang kotoran yang menempel di dengkul si anak tapi tangis si anak tidak berhenti dan berkata “Kembalikan! Kembalikan!”, lalu ibunya menempelkan kembali kotoran tersebut dan tangis si anak malah semakin keras “Kok tidak sama? Kok tidak sama” sambil tersenyum dan mencari kotoran lainnya, ibu pun bergumam “Ya sudah tidak apa-apa asal besok besar jadi Jendral”

Empat puluh tahun kemudian, seorang anak yang pernah membuat repot ibunya dengan kotoran ayam itu benar-benar menjadi seorang Jendral, dialah Jendral Soebagyo HS mantan Kepala Staf TNI-AD, subhanallah....

Wahai ayah ibu, jagalah lisanmu! Bahwa pada hakekatnya setiap perkataanmu terhadap anakmu adalah doa maka seribu kata kebaikan adalah seribu doa kebaikan dan seribu kata keburukan adalah seribu doa keburukan.
Share