Sabtu, 26 Maret 2011

Ketika Memasuki Usia Empat Puluh Tahun

Banyak orang yang terperanjat bahwa ternyata saat ini dia telah memasuki usia 40 tahun, sebagian ada yang berhitung target apa yang sudah diraih dan apa yang belum tercapai dalam hidupnya kemudian memikirkan langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya tetapi tidak sedikit pula yang tidak menyadarinya karena sibuk dengan impian-impiannya atau tengah terbuai dalam manisnya kesuksesan.

Ketika memasuki usia 40 tahunan, manusia secara fisiologis mulai mengalami penurunan , tidak sekuat usia 30 atau 20 tahunan, uban mulai tumbuh, pantangan dan kelemahan mulai tampak. Di sisi lain fase kearifan hidup dimulai, kematangan pengalaman, baik buruk, jalur, rambu dan lapis-lapis kehidupan sudah begitu transparan bagi mata batinnya, fase fisik sudah dilalui dan bukan pula fase coba-coba.

Maka dapat dipahami jika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama yang menandai dimulainya misi kenabiannya ketika beliau berusia 40 tahun. Allah pun secara khusus menyebut angka usia 40 tahun dalam sebuah ayat yang menjelaskan kewajiban seorang anak berbakti kepada ibu bapaknya “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Qs 46 : Al Ahqaaf ayat 15).

Allah mengajarkan kepada manusia doa kesadaran akan peran masa lalu (ibu- bapak), kesadaran untuk mensyukuri begitu banyak nikmat yang telah Allah berikan termasuk kenikmatan yang telah diberikan melalui kasih sayang kedua orang tua kita.

Allah mengajarkan pula doa tentang masa kini (diri sendiri) yang berisi permohonan agar bisa lebih giat dan kuat untuk menjalani amal-amal shalih untuk mendapatkan ridha Allah.

Kemudian doa yang berisi pengharapan masa depan (untuk anak-cucu), doa yang dilandasi kesadaran akan tanggung jawab terhadap anak dan cucu yang juga akan menjalani kehidupan seperti yang dialaminya, kesadaran bahwa kelak anak dan cucu tidak mungkin selalu kita dampingi dan arahkan jejak langkahnya.

Inilah doa penuh permohonan, kesyukuran, dan pertobatan yang perlu dilantunkan secara khusyuk dan sepenuh jiwa oleh siapa pun yang punya kesadaran akan usia, posisi, peran, peluang serta hakikat kehidupannya.

Imam Al Ghazali pernah mengatakan “Barangsiapa yang telah melampui usia 40 tahun sedangkan kebaikannya tidak dapat mengalahkan kejahatannya, maka hendaklah dia mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam neraka”.

Imam Syafi'i setelah mencapai umur 40 tahunan, berjalan dengan menggunakan sebatang tongkat kayu. Ketika ditanya sebabnya, ia berkata "Supaya aku sentiasa ingat bahwa aku adalah seorang musafir yang sedang berjalan menuju akhirat."

Usia 40 tahun adalah saat dimana peran-peran besar sedang dimulai karena dalam keyakinan Islam kita, usia berapapun tak pernah boleh menjadikan seseorang merasa lebih lemah untuk melakukan kebaikan. Imam Ahmad dalam usia renta ditanya, ”Sampai kapan engkau akan menulis hadits?” Kemudian jawabnya, ”Sampai mati.”

Usia seseorang sepenuhnya menjadi rahasia Allah bahwa kematian bisa datang kapan saja dan di mana saja maka berhati-hatilah. Mari kita segera merubah diri menuju kebaikan, mumpung kita masih diberi WAKTU & KESEMPATAN untuk mengumpulkan cukup amal kebaikan sebagai bekal untuk bertemu dengan Allah di hari penghisaban nanti.

Ijinkan saya meminjam catatan syair Ebiet G. Ade “Kita meski bersyukur bahwa kita masih di beri waktu, entah sampai kapan tak ada yang dapat menghitung, hanya atas kasih Nya, hanya atas kehendak Mu, kita masih bertemu matahari, kepada rumput ilalang, kepada bintang gemintang, kita dapat mencoba meminjam catatannya, sampai kapan kita berada, waktu yang masih tersisa, semuanya menggeleng, semuanya terdiam, semuanya menjawab tak mengerti, yang terbaik hanyalah segeralah bersujud, mumpung kita masih diberi waktu.”
Share

Sabtu, 19 Maret 2011

Dan Bulan Pun Telah Terbelah Dua


Engkau laksana bulan tinggi di atas kayangan, hatiku telah kau tawan hidupku tak karuan, mengapa ku disiksa, mengapa kita bersua, berjumpa dan bercinta tetapi menderita.

Entah sudah berapa banyak puisi dan lagu yang menggunakan bulan sebagai kiasan untuk menggambarkan kecantikan atau perasaan cinta seseorang, bahkan tidak jarang bulan kerap dijadikan sebagai saksi untuk membuktikan ketulusan cinta. Lantas ketika bulan terbelah menjadi dua dalam arti yang sesungguhnya bukan kiasan, siapakah yang menjadi saksi? Apakah mereka mempercayainya? Berikut ini adalah kisahnya.

Peristiwa terbelahnya bulan terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW sebelum hijrah dari Mekah ke Madinah. Suatu ketika orang-orang Quraisy dengan nada mengejek berkata : “Wahai Muhammad kalau engkau benar Nabi dan Rasul, coba tunjukkan kepada kami satu kehebatan yang bisa membuktikan kenabian dan kerasulanmu!” Lantas Rasulullah bertanya “Apa yang kalian inginkan?” dan mereka menjawab “coba belah rembulan...!”. Rasulullah bertanya: “Apakah kalian akan masuk Islam jika aku sanggup melakukannya?” dan mereka menjawab, “Ya.”

Rasulullah berdiri dan terdiam sambil berdo’a kepada Allah agar menolongnya, atas petunjuk Allah, Rasulullah mengarahkan telunjuknya ke bulan dan terbelahlah bulan dengan sebenar-benarnya dan demikian jauh jarak belahan bulan itu sehingga gunung Hira nampak berada diantara keduanya. Bukannya percaya, orang-orang itu serta merta berkata “Muhammad engkau benar-benar telah menyihir kami...”, padahal mereka menyaksikan pembelahan bulan dengan seksama.

Mereka berpendapat bahwa sihir bisa saja menyihir orang yang ada disekitar sang penyihir tetapi tidak bisa menyihir orang yang ada di tempat lain. Lalu mereka pun menunggu orang-orang yang akan pulang dari perjalanan.

Mereka pun bergegas keluar ke batas kota Mekah, menunggu orang-orang yang baru pulang dari perjalanan. Ketika datang rombongan yang pertama kali menuju Mekah, mereka bertanya “Apakah kalian melihat sesuatu yang aneh dengan bulan?” Mereka menjawab, “Ya benar, pada suatu malam yang lalu kami melihat bulan terbelah menjadi dua dan saling menjauh kemudian bersatu kembali…”

Mendengar hal itu sebagian dari mereka lalu beriman tetapi sebagian lagi tetap ingkar, karena itu Allah menurunkan ayat-Nya “Telah dekat (datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat sesuatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata: "(ini adalah) sihir yang terus menerus". Dan mereka mendustakan (Nabi) dan mengikuti hawa nafsu mereka, sedang tiap-tiap urusan telah ada ketetapannya.” (Qs.Al Qamar/Bulan : 1-3).

Bukti lain bahwa bulan pernah terbelah dan disaksikan oleh orang lain di tempat yang berbeda terdokumentasikan dalam sebuah manuskrip (naskah) tua di perpustakaan India, London dengan nomor Arabic : 2807, 152-173 yang dikutip di buku “Muhammad Rasulullah” oleh M. Hamidullah, diceritakan bahwa seorang raja dari Malabar (India) yang bernama Cakrawati Farmas juga telah menyaksikan peristiwa terbelahnya bulan. Kemudian dari sekumpulan pedagang muslim yang singgah di Malabar, raja mengetahui bahwa peristiwa terbelahnya bulan itu adalah Mukjizat dari seorang Rasul di Mekah yang bernama Muhammad dan setelah mempelajari hal tersebut (Raja tahu bahwa kitab ramalan masa depan Hindu “Bhavisya Puran” meramalkan akan adanya utusan dari daerah berpasir yang mampu membelah bulan). Raja lalu menugaskan anak lelakinya sebagai pemimpin dan raja pergi untuk menemui utusan itu. Dia memeluk agama Islam di tangan Nabi Muhammad SAW, tapi sayang ketika pulang ke negerinya, raja wafat di pelabuhan Zafar – Yaman.

Selain itu, sejarah India kuno yang pada waktu peristiwa itu belum mengenal Islam telah mencatat peristiwa bulan terbelah. Sayyid Mahmud Syukri al-Alusi, dalam bukunya Ma Dalla 'Alaihi Al-Qur'an, mengutip dari buku Tarikh al-Yamini bahwa dalam sebuah penaklukan yang dilakukan oleh Sultan Mahmud bin Sabaktakin al-Ghaznawi terhadap sebuah kerajaan yang masih menganut paganisme di India ia menemukan lempengan batu di dalam sebuah istana taklukan. Pada lempengan tersebut terpahat tulisan, "Istana ini dibangun pada malam terbelahnya bulan, dan peristiwa itu mengandung pelajaran bagi orang yang mengambil pelajaran."

Ibn Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah vol. 3 hal. 130, juga menyebutkan adanya riwayat dari India yang menceritakan tentang terbelahnya bulan. Juga dalam Mustadrak al-Hakim vol. 4 hal. 150 menyebutkan riwayat tentang kedatangan raja India dan pertemuannya dengan Nabi Muhammad SAW. Abu Said al-Khudri ra berkata: "Raja India memberikan hadiah seguci jahe pada Nabi Muhammad SAW. Para sahabat memakannya sepotong-potong. Aku juga turut memakannya".

Di internet banyak beredar foto dari NASA yang diambil oleh awak Apollo 10 dari jarak sekitar 14 km di atas permukaan bulan pada tahun 1969 yang memperlihatkan permukaan bulan seperti pernah terbelah dan membentuk suatu garis sepanjang ratusan kilometer. Benar atau tidaknya hal tersebut masih membutuhkan penelitian dan pembuktian ilmiah lebih lanjut.

Bisa jadi suatu saat nanti manusia dengan kekuatannya (ilmu dan pengetahuan) mampu melakukan pendaratan kembali ke bulan dan melakukan eksplorasi lebih jauh tentang bulan sehingga jejak (bekas) bahwa bulan pernah terbelah dapat dibuktikan secara ilmiah. “Hai jemaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan” (Qs. Ar Rahmaan : 33).

Tanda-tanda (mukjizat) yang diberikan Allah, untuk memperkuat para rasul Nya dan sebagai pertolongan atas mereka, menunjukkan dengan pasti akan keberadaan Allah SWT yang maha perkasa dan maha kuasa atas segala sesuatu.

Saya sebagai muslim mempercayai peristiwa terbelahnya bulan karena memang benar termaktub dalam Al Qur’an dan hadist Rasulullah SAW, kalaupun masih ada yang tidak percaya, jangankan jaman sekarang, pada masa Rasulullah SAW yang menyaksikan langsung peristiwa tersebut saja masih ada yang tidak percaya, apalagi saat ini. Tapi sekali lagi hal ini semakin membuktikan kebenaran Al Qur’an itu sendiri tentang adanya sebagian orang yang mendustakan suatu kebenaran seperti yang dimaksud dalam surat Al Qamar tersebut di atas.

Percaya atau tidak, selanjutnya terserah anda.

“Ambilkan bulan bu, yang slalu bersinar di langit... ambilkan bulan bu, untuk menerangi tidurku yang lelap di malam gelap.....
Share