Jumat, 24 Juni 2011

Perginya Lelaki Bersahaja Itu


Ketika hujan turun dengan tiba-tiba tanpa didahului dengan awan mendung yang memberi isyarat, tak ada petir yang memberi pertanda dan tak ada angin yang mengabarkan tentu membuat sebagian orang panik dan terkejut, demikian pula halnya ketika seseorang secara tiba-tiba pergi untuk selama-lamanya meninggalkan dunia yang fana ini, pasti menyisakan duka yang mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan dan beragam penyesalan karena merasa belum siap untuk ditinggalkan.

Allah sudah menegaskan bahwa “Setiap yang berjiwa akan merasakan mati...”, cepat atau lambat, siap atau tidak siap kita harus mempersiapkan diri dengan bekal amal kebaikan sebanyak mungkin. Meski kepergian seseorang terkadang tanpa memberikan pertanda tetapi pasca kepergiannya terkadang meninggalkan jejak yang menunjukkan bagaimana amal perbuatannya selama hidup di dunia ini seperti halnya kisah berikut ini.

Adalah ayahanda tercinta dari istri saya, tokoh yang cukup dikenal dan dihormati di seantero komplek perumahan kami. Bisa jadi keterkenalan tersebut karena beliau adalah mantan pejabat dengan posisi jabatan terakhir cukup tinggi dan pada masa pensiunnya beliau masih aktif sebagai pengurus pada yayasan pensiun.

Kami sebagai anaknya yang bertempat tinggal kurang lebih 600 meter dari rumah beliau, terkadang ikut merasakan perlakuan “istimewa” dari orang-orang sekitar komplek. Pernah suatu ketika istri saya berbelanja pada tukang gerobak sayur yang biasa mangkal di seberang rumah kami, cukup ramai yang berbelanja saat itu tapi istri saya selalu didahulukan untuk dilayani dan perlakuan yang sama juga sering kami alami ketika membeli sesuatu di warung sebelah rumah. Ketika kami sedang berjalan di sebuah gang seringkali mendapatkan tegur sapa dan senyum ramah dari orang di depan rumah yang kami lewati demikian halnya senyum ramah dari beberapa tukang becak yang kebetulan berpapasan dengan kami.

Suatu hari kami dikejutkan oleh kabar bahwa beliau tiba-tiba pingsan ketika sedang rapat di kantor yayasan pensiun dan tak lama berselang menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumah sakit terdekat. Isak tangispun pecah, beliau wafat meninggalkan kami untuk selama-lamanya tanpa kami bisa mencegah atau menundanya sedetik pun.

Terdengar pengumuman di masjid yang mengabarkan perihal meninggalnya beliau. Awalnya penyampaiannya berjalan dengan lancar, namun ketika pengumuman diulang untuk yang kedua kalinya, terdengar si penyampai berita menyampaikannya dengan terbata-bata menahan isak tangis. Mungkin orang tersebut adalah teman almarhum sesama jama’ah masjid yang merasa kehilangan dengan kepergiannya.

Rumah beliaupun ramai dan tak henti-hentinya dikunjungi oleh orang-orang yang datang silih berganti untuk bertakziah dan menyampaikan belasungkawa. Saya sempat terkejut ketika mengetahui dari tetangga bahwa diantara orang-orang yang datang ada beberapa tukang ojek yang biasa mangkal di ujung jalan itu, hansip dan tukang sayur yang biasa mangkal di seberang rumah kami serta tukang becak yang sering hilir-mudik di komplek pun datang. Anak saya juga mengatakan bahwa ternyata tukang odong-odong yang biasa keliling komplek juga datang.

Usai dimandikan dan dikafani, jenazah dibawa ke masjid untuk disholati dan karena sedikit terlambat masuk masjid, sayapun kebagian shaf (baris) paling belakang. Berdiri disamping kiri saya seorang lelaki kurus tinggi ikut mensholati jenazah dan betapa terkejutnya saya usai sholat ketika melihat lelaki yang tadi berdiri disamping saya sudah mengenakan rompi dan tas yang diselempangkan di pundak, ternyata dia adalah penjaja koran yang biasa menjadi langganan almarhum.

Malam harinya saya sempat pulang ke rumah sebentar dan mampir untuk membeli bubur ayam yang biasa mangkal di depan masjid. Tukang bubur memulai percakapan “Nggak sangka ya mas, pak Haji sudah nggak ada ! Padahal baru kemarin malam lewat sini”. Saya pun hanya tersenyum kecil, lalu tukang bubur melanjutkan ceritanya “Pak Haji cuma bilang sama saya, ayo mas mari pulang sudah mau hujan nih...”.

Dari sini dan beberapa kejadian sebelumnya, saya bisa menarik kesimpulan bahwa banyak orang yang menaruh hormat kepada beliau bukan karena ketinggian jabatan yang pernah diembannya tetapi lebih dikarenakan kerendahan hati dan kesederhanaan beliau. Kerendahan hati itu ditunjukkannya dengan keramahan dan tak segan untuk menegur sapa terlebih dahulu kepada siapa saja yang dijumpainya tanpa memandang status sosial atau kedudukan seseorang.

Kehidupan beliau terlihat begitu kontras dengan kisah-kisah beberapa orang yang semasa hidupnya begitu dihormati dan ditakuti karena jabatan atau kekuasaan yang diembannya tetapi ketika orang itu turun dari jabatannya, banyak orang yang “Bertepuk tangan” karena merasa terbebas dari tekanan yang sekian lama mereka rasakan . Dimasa pensiunnya, beberapa mantan bawahannya tidak menaruh hormat lagi kepadanya bahkan hanya sekedar berpapasan dan bertegur sapa, jika ada kesempatan untuk menghindar, mereka akan melakukannya. Lalu jika orang tersebut wafat, masih banyakkah orang yang peduli ?

Hidup adalah sebuah pilihan, apakah kita ingin menjadi orang yang dihormati ketika hidup di dunia dan tetap dihormati dan dikenang orang setelah kita di alam kubur karena kerendahan hati dan kebaikan kita kepada sesama ataukah sebaliknya?

Robbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hassanah wa qina adza bannar “. Ya Allah berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari siksa api neraka.

Share