Minggu, 28 Agustus 2011

Pura-pura Tuli, Pura-pura Tidak Tahu


Ada perasaan kagum sekaligus bercampur malu terhadap diri ini ketika saya membaca kisah seorang tabi’in shalih yang bernama Abu Abdurrahman Hatim bin Unwan atau lebih dikenal dengan nama Hatim al Asham.

Kisah ini bermula ketika suatu hari beliau didatangani seorang wanita yang bermaksud menanyakan sesuatu. Tanpa disengaja wanita itu tiba-tiba buang angin (maaf : kentut). Hatim tidak ingin tamunya menjadi malu karena hal tersebut, kemudian beliau mencoba menutupinya dengan mengatakan, “Berbicaralah dengan keras, karena pendengaranku kurang tajam.” Wanita itupun senang dan tidak salah tingkah karena mengira Hatim tidak mendengarnya.

Sejak saat itu, kira-kira lima belas tahun selama wanita itu masih hidup, Hatim berpura-pura memiliki pendengaran yang kurang normal. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada seorang pun yang bercerita kepada wanita itu bahwa sesungguhnya beliau tidak tuli.

Setelah wanita tersebut meninggal dunia, barulah Hatim dengan mudah menjawab kepada siapa pun yang bertanya. Tapi karena sudah terbiasa, beliau selalu berkata, “Bicaralah lebih keras!” Itulah sebabnya orang-orang biasa memanggilnya dengan sebutan Hatim al Asham atau Hatim si tuli.

Kekaguman saya terhadap Hatim al Asham karena kelapangan hatinya yang luar biasa, sikap berpura-pura tidak tahu atas kekeliruan yang tidak sengaja dilakukan orang lain, sikap toleran dan memaklumi kesalahan yang tidak direncanakan yang tidak berakibat buruk terhadap orang banyak. Sikap tersebut biasa disebut dengan istilah taghaful yaitu sikap seseorang yang tahu dan mengerti tentang sesuatu namun menampakkan dirinya seolah-olah tidak tahu (mengabaikan).

Perasaan malu yang menghinggapi diri ini karena terkadang saya tertawa atas kesalahan kecil yang tak sengaja dilakukan orang lain. Berlaku tidak seimbang dalam menilai orang, menghapus semua kebaikan yang pernah dilakukan dan hanya memikirkan serta membesar-besarkan kesalahannya.

Termasuk sikap taghaful adalah seperti yang ditunjukkan oleh Atha bin Rabah, seorang ulama dan ahli hadits. Pernah suatu ketika seseorang datang kepadanya menyampaikan sebuah hadits Rasulullah SAW. Beliau diam dan mendengarkan hadits itu dengan baik, seolah belum pernah mendengarnya kecuali dari yang diucapkan pemuda tersebut. Padahal hadits itu sudah didengar dan dihafalnya sejak sebelum pemuda itu lahir.

Saya pun sangat terkesan dengan sikap taghaful dari komandan perang Qutaibah bin Muslim al Bahily yang kedatangan seorang pemuda untuk menyampaikan sesuatu kepadanya. Ketika pemuda itu duduk menghadap dan meletakkan pedangnya yang masih terhunus, tanpa sengaja ketajaman pedang itu melukai jari kaki Quthaibah sehingga berdarah. Pemuda itu tidak tahu karena Quthaibah berusaha diam dan terus mendengarkan permasalahan yang disampaikan kepadanya. Setelah urusan pemuda itu selesai, mengucapkan terima kasih dan pergi, barulah Quthaibah meminta sapu tangan untuk membersihkan darah dari jari kakinya. “Mengapa tidak engkau sampaikan saja pada pemuda itu wahai Quthaibah?” tanya seorang sahabatnya. “Aku takut ucapan itu akan menghalanginya dari menyampaikan keperluannya” jawab Quthaibah.

Sungguh luar biasa, seperti inilah akhlak dan sikap seorang pemimpin yang shalih. Dengan kedudukannya sebagai komandan, dimungkinkan dan boleh untuk sekadar mengingatkan pemuda itu, tapi hal ini tidak dilakukannya. Bahkan menggeser kakinya agar tidak terlalu lama terkena ujung pedang, itupun tidak dilakukannya.

Ya Allah jadikanlah hamba-Mu ini dapat mengambil pelajaran dan meniru sikap taghaful dari orang-orang shalih terdahulu agar dengan segala kerendahan hati, mampu bersikap toleran, mudah memaafkan, lapang dada, ringan memaklumi kekeliruan orang lain selama kekeliruan itu tidak menentang kebenaran mutlak dari Allah dan Rasulullah SAW, amin.
Share