Sabtu, 24 November 2012

Untuk Apa Kalian Menangis

Hal pertama yang dilakukan anak manusia ketika terlahir di dunia adalah menangis, sedangkan orang-orang disekitarnya tersenyum atau tertawa bahagia, kalaupun ada yang menangis pastilah tangisan keharuan dan kebahagiaan.

Sebaliknya manusia yang sudah merasa cukup bekalnya untuk diakhirat kelak akan menerima kematian dengan ikhlas, dipenghujung hayatnya dia tersenyum sedangkan orang-orang disekitarnya akan menangis melepas kepergiannya meninggalkan dunia yang fana ini.

Lantas mengapa kita menangisi kepergian ayah, ibu atau orang-orang tercinta lainnya? Untuk apa kita menangis? Kisah berikut ini mungkin bisa menjadi bahan perenungan kita bersama.

Dahulu kala ada seorang laki-laki yang dikenal sebagai ahli ibadah, suatu saat mengalami sakaratul maut dan semua anggota keluarga yang mengelilinginya menangis menyaksikan orang yang mereka cintai terbaring lemah tak berdaya.

Tiba-tiba laki-laki itu berkata lirih minta untuk didudukkan. Setelah duduk ia berkata kepada ayahnya “Pak, mengapa bapak menangis?” lalu dijawab “Anakku, aku membayangkan bila harus kehilanganmu, bagaimana aku akan kesepian setelah engkau pergi.”

Kemudian laki-laki itu bertanya kepada ibunya “Apa yang membuat ibu menangis?” Ibunya menjawab “Merasakan pedihnya harus berpisah denganmu?

Hal yang sama juga ditanyakan kepada istrinya dan dijawab “Karena aku harus kehilangan kebaikanmu selama ini dan bagaimana aku bisa memenuhi kebutuhan kebaikan itu pada selain dari dirimu.”

Lalu terakhir ditujukan kepada anak-anaknya, masih dengan pertanyaan yang sama dan dijawab “Karena kedukaan dan kehinaan anak yatim bila ayahnya meninggal.”

Setelah mendengar semua jawaban itu, laki-laki itupun menangis, keluarganya heran “Kenapa kini engkau yang menangis?”

Laki-laki itu menjawab “Aku menangis karena menyaksikan masing-masing kalian bukan menangisi aku tapi menangisi dirinya sendiri. Tidak ada diantara kalian yang menangisi bagaimana aku harus melewati perjalanan panjang setelah wafat. Tidak ada diantara kalian yang menangisi karena bekal yang aku persiapkan sangat sedikit.”

“Tidak ada yang menangisi bagaimana aku harus ditimbun oleh tanah, tidak ada yang menangisi terhadap balasan keburukan yang akan aku terima. Tidak ada diantara kalian yang menangis karena aku harus berdiri dihadapan Rabbku...” Tiba-tiba ia lemas dan terjatuh, ternyata Allah SWT telah memanggilnya.

Ya Allah ya Tuhan kami, panjangkanlah umur kami dan janganlah Engkau cabut nyawa kami sebelum kami cukupkan bekal kami dengan amal kebaikan untuk menghadapMu.

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)." (Qs. Ali Imran : 8)



Share

Sabtu, 10 November 2012

Jika Engkau Tak Lebih Cantik Dari Bulan

Adakah di antara kita yang merasa mempunyai istri yang paling cantik atau sebaliknya? Adakah di antara kita yang merasa mempunyai suami paling tampan atau sebaliknya? Ada baiknya kita simak kisah berikut ini.

Pada masa Khalifah Al Manshur, hiduplah Isa bin Musa seorang lelaki yang merasa beruntung karena mempunyai istri yang sangat cantik. Suatu ketika ekspresi cintanya ia ungkapkan dalam rangkaian kata-kata yang diharapkan bisa menjelaskan bahwa tak ada yang menyamai kecantikan istrinya.

Dengan penuh semangat dan cinta yang menggelora, ia berkata “Jika engkau tak lebih cantik dari bulan, engkau aku cerai tiga kali.” Dengan anggapan bahwa istrinya jauh lebih cantik dari bulan maka tak mungkin ia akan menceraikannya.

Tetapi perempuan itu merasa telah diceraikan karena lafaz (ucapan) “cerai” adalah hukum yang berlaku baik diucapkan dengan serius maupun tidak serius. Sejak malam itu ia pun menghindar dan menjauhi suaminya.

Esok harinya, Isa bin Musa menghadap Khalifah Al Manshur dan menceritakan permasalahannya, ia pun berujar “Wahai Amirul Mukminin, jika sampai aku bercerai dari dia maka hatiku akan selalu dijejali gelap dan mati lebih aku sukai daripada hidup.”

Khalifah merasa resah dan bingung karena tidak bisa memberikan jawaban. Akhirnya didatangkanlah beberapa ulama fikih dan semua mengatakan bahwa talak atau cerainya telah jatuh, istrinya berstatus diceraikan. Tetapi ada satu ulama yang sedari tadi diam tak berkomentar. Al Manshur lalu bertanya “Mengapa engkau tidak berbicara?”

Maka ulama itu menjawab dengan mengutip ayat Alqur’an, Surat At Tiin ayat 4 “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”

Kemudian ulama itu melanjutkan “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya manusia itu seindah-indahnya bentuk, tidak ada sesuatu yang lebih indah dari manusia.”

Dengan penjelasan ulama itu, kalimat cerai yang diucapkan Isa tidak berlaku lagi karena manusia lebih indah dari apapun. Maka istri lelaki itu masih jauh lebih cantik dari bulan sekalipun.

Khalifah Al Manshur lalu berkata kepada Isa “Hukumnya seperti yang ia katakan, maka kembalilah ke istrimu.” Al Manshur juga mengirim pesan kepada istri lelaki itu “Taatilah suamimu, jangan engkau melawannya karena dia tidak menceraikanmu.”

Hikmah yang dapat kita petik dari kisah tersebut di atas yang terkesan sederhana namun cukup merepotkan banyak ulama hingga Khalifah pada masa itu adalah para suami untuk lebih berhati-hati terhadap kata “cerai” baik yang diucapkan secara bercanda terlebih dalam keadaan emosi.

Hikmah lainnya adalah tak ada yang perlu kita sesali terhadap fisik yang dianugerahkan Allah kepada kita, istri, suami maupun anak kita karena manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dengan sebaik-baik bentuk.

Bersyukurlah atas segala rahmat dan karunia yang dilimpahkan Allah kepada kita, "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-cucu Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan." (QS. Al Isra: 70)
.
Share