Sabtu, 24 November 2012

Untuk Apa Kalian Menangis

Hal pertama yang dilakukan anak manusia ketika terlahir di dunia adalah menangis, sedangkan orang-orang disekitarnya tersenyum atau tertawa bahagia, kalaupun ada yang menangis pastilah tangisan keharuan dan kebahagiaan.

Sebaliknya manusia yang sudah merasa cukup bekalnya untuk diakhirat kelak akan menerima kematian dengan ikhlas, dipenghujung hayatnya dia tersenyum sedangkan orang-orang disekitarnya akan menangis melepas kepergiannya meninggalkan dunia yang fana ini.

Lantas mengapa kita menangisi kepergian ayah, ibu atau orang-orang tercinta lainnya? Untuk apa kita menangis? Kisah berikut ini mungkin bisa menjadi bahan perenungan kita bersama.

Dahulu kala ada seorang laki-laki yang dikenal sebagai ahli ibadah, suatu saat mengalami sakaratul maut dan semua anggota keluarga yang mengelilinginya menangis menyaksikan orang yang mereka cintai terbaring lemah tak berdaya.

Tiba-tiba laki-laki itu berkata lirih minta untuk didudukkan. Setelah duduk ia berkata kepada ayahnya “Pak, mengapa bapak menangis?” lalu dijawab “Anakku, aku membayangkan bila harus kehilanganmu, bagaimana aku akan kesepian setelah engkau pergi.”

Kemudian laki-laki itu bertanya kepada ibunya “Apa yang membuat ibu menangis?” Ibunya menjawab “Merasakan pedihnya harus berpisah denganmu?

Hal yang sama juga ditanyakan kepada istrinya dan dijawab “Karena aku harus kehilangan kebaikanmu selama ini dan bagaimana aku bisa memenuhi kebutuhan kebaikan itu pada selain dari dirimu.”

Lalu terakhir ditujukan kepada anak-anaknya, masih dengan pertanyaan yang sama dan dijawab “Karena kedukaan dan kehinaan anak yatim bila ayahnya meninggal.”

Setelah mendengar semua jawaban itu, laki-laki itupun menangis, keluarganya heran “Kenapa kini engkau yang menangis?”

Laki-laki itu menjawab “Aku menangis karena menyaksikan masing-masing kalian bukan menangisi aku tapi menangisi dirinya sendiri. Tidak ada diantara kalian yang menangisi bagaimana aku harus melewati perjalanan panjang setelah wafat. Tidak ada diantara kalian yang menangisi karena bekal yang aku persiapkan sangat sedikit.”

“Tidak ada yang menangisi bagaimana aku harus ditimbun oleh tanah, tidak ada yang menangisi terhadap balasan keburukan yang akan aku terima. Tidak ada diantara kalian yang menangis karena aku harus berdiri dihadapan Rabbku...” Tiba-tiba ia lemas dan terjatuh, ternyata Allah SWT telah memanggilnya.

Ya Allah ya Tuhan kami, panjangkanlah umur kami dan janganlah Engkau cabut nyawa kami sebelum kami cukupkan bekal kami dengan amal kebaikan untuk menghadapMu.

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)." (Qs. Ali Imran : 8)



Share

Sabtu, 10 November 2012

Jika Engkau Tak Lebih Cantik Dari Bulan

Adakah di antara kita yang merasa mempunyai istri yang paling cantik atau sebaliknya? Adakah di antara kita yang merasa mempunyai suami paling tampan atau sebaliknya? Ada baiknya kita simak kisah berikut ini.

Pada masa Khalifah Al Manshur, hiduplah Isa bin Musa seorang lelaki yang merasa beruntung karena mempunyai istri yang sangat cantik. Suatu ketika ekspresi cintanya ia ungkapkan dalam rangkaian kata-kata yang diharapkan bisa menjelaskan bahwa tak ada yang menyamai kecantikan istrinya.

Dengan penuh semangat dan cinta yang menggelora, ia berkata “Jika engkau tak lebih cantik dari bulan, engkau aku cerai tiga kali.” Dengan anggapan bahwa istrinya jauh lebih cantik dari bulan maka tak mungkin ia akan menceraikannya.

Tetapi perempuan itu merasa telah diceraikan karena lafaz (ucapan) “cerai” adalah hukum yang berlaku baik diucapkan dengan serius maupun tidak serius. Sejak malam itu ia pun menghindar dan menjauhi suaminya.

Esok harinya, Isa bin Musa menghadap Khalifah Al Manshur dan menceritakan permasalahannya, ia pun berujar “Wahai Amirul Mukminin, jika sampai aku bercerai dari dia maka hatiku akan selalu dijejali gelap dan mati lebih aku sukai daripada hidup.”

Khalifah merasa resah dan bingung karena tidak bisa memberikan jawaban. Akhirnya didatangkanlah beberapa ulama fikih dan semua mengatakan bahwa talak atau cerainya telah jatuh, istrinya berstatus diceraikan. Tetapi ada satu ulama yang sedari tadi diam tak berkomentar. Al Manshur lalu bertanya “Mengapa engkau tidak berbicara?”

Maka ulama itu menjawab dengan mengutip ayat Alqur’an, Surat At Tiin ayat 4 “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”

Kemudian ulama itu melanjutkan “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya manusia itu seindah-indahnya bentuk, tidak ada sesuatu yang lebih indah dari manusia.”

Dengan penjelasan ulama itu, kalimat cerai yang diucapkan Isa tidak berlaku lagi karena manusia lebih indah dari apapun. Maka istri lelaki itu masih jauh lebih cantik dari bulan sekalipun.

Khalifah Al Manshur lalu berkata kepada Isa “Hukumnya seperti yang ia katakan, maka kembalilah ke istrimu.” Al Manshur juga mengirim pesan kepada istri lelaki itu “Taatilah suamimu, jangan engkau melawannya karena dia tidak menceraikanmu.”

Hikmah yang dapat kita petik dari kisah tersebut di atas yang terkesan sederhana namun cukup merepotkan banyak ulama hingga Khalifah pada masa itu adalah para suami untuk lebih berhati-hati terhadap kata “cerai” baik yang diucapkan secara bercanda terlebih dalam keadaan emosi.

Hikmah lainnya adalah tak ada yang perlu kita sesali terhadap fisik yang dianugerahkan Allah kepada kita, istri, suami maupun anak kita karena manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dengan sebaik-baik bentuk.

Bersyukurlah atas segala rahmat dan karunia yang dilimpahkan Allah kepada kita, "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-cucu Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan." (QS. Al Isra: 70)
.
Share

Sabtu, 31 Maret 2012

Ketika Tangan dan Kaki Berkata

Terkadang sebuah kata atau rangkaian kata-kata hanya berlalu begitu saja tanpa memberi kesan yang bermakna bagi seseorang yang mendengarnya namun tak jarang sebuah kata memiliki kekuatan yang secara psikologis sifatnya hampir “memaksa” sehingga bisa menggetarkan jiwa dan membuat seseorang menangis. Berikut ini adalah kisah bagaimana sebuah ayat mampu menginspirasi dan menyentuh hati sehingga lahirlah sebuah karya.

Suatu ketika di tahun 1997 almarhum Chrisye (Krismansyah Rahadi) bertemu dengan Taufiq Ismail lalu mengutarakan niatnya “Bang saya punya sebuah lagu dan sudah coba menuliskan kata-katanya tapi saya tidak puas, bisakah Abang tolong tuliskan liriknya?”

Chrisye kali ini menginginkan lagunya berisi lirik religius, Taufiq Ismail pun menyanggupinya dan diberi waktu selama sebulan. Kaset lagu itu lalu dikirimkan berikut keterangan berapa baris lirik yang diperlukan dan jumlah ketukan untuk setiap lirik yang akan diisi dengan suku kata.

Setelah mendengarkan lagu itu, Taufiq Ismail sangat menyukainya, tetapi lewat seminggu, dua minggu bahkan memasuki minggu ketiga inspirasi masih tertutup tidak ada ide. Beliaupun mulai gelisah karena diujung minggu keempat masih tetap buntu dan berniat esok hari akan menelpon Chrisye menyatakan ketidaksanggupannya lalu mengembalikan pita rekaman itu.

Hingga suatu malam ide itu muncul melalui kebiasaan rutin Taufiq Ismail membaca surat Yasin, ketika sampai pada ayat ke 65 yang artinya “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.”

Makna ayat yang menggambarkan bagaimana manusia diadili di hari akhir nanti mampu menggugah Taufiq Ismail untuk segera memindahkan makna tersebut ke dalam larik-larik lagu itu. Pada awalnya beliau ragu apakah makna yang sangat berbobot itu akan bisa masuk pas kedalamnya namun keraguan itu mampu ditepisnya hingga selesailah penulisan lirik sebuah lagi yang diberi judul “Ketika Tangan dan Kaki Berkata.”

Selanjutnya hal yang tidak biasa terjadilah, ketika berlatih di kamar menyanyikan lagu itu, baru dua baris Chrisye menangis, menyanyi lagi menangis lagi sampai berkali-kali.

Berikut penuturan Chrisye di dalam memoarnya yang ditulis oleh Alberthiene Endah, “Chrisye : Sebuah Memoar Musikal “ (tahun 2007 hal. 308-309).

“Lirik yang dibuat Taufiq Ismail adalah satu-satunya lirik dahsyat sepanjang karier, yang menggetarkan sekujur tubuh saya. Ada kekuatan misterius yang tersimpan dalam lirik itu. Liriknya benar-benar mencekam dan menggetarkan. Dibungkus melodi yang begitu menyayat, lagu itu bertambah susah saya nyanyikan! Di kamar, saya berkali-kali menyanyikan lagu itu. Baru dua baris, air mata saya membanjir. Saya coba lagi. Menangis lagi. Yanti sampai syok! Dia kaget melihat respons saya yang tidak biasa terhadap sebuah lagu. Taufiq memberi judul pada lagu itu sederhana sekali, Ketika Tangan dan Kaki Berkata.”

“Lirik itu begitu merasuk dan membuat saya dihadapkan pada kenyataan, betapa tak berdayanya manusia ketika hari akhir tiba. Sepanjang malam saya gelisah. Saya akhirnya menelepon Taufiq dan menceritakan kesulitan saya.”
“Saya mendapatkan ilham lirik itu dari Surat Yasin ayat 65...” kata Taufiq. Ia menyarankan saya untuk tenang saat menyanyikannya. Karena sebagaimana bunyi ayatnya, orang memang sering kali tergetar membaca isinya.”

“Walau sudah ditenangkan Yanti dan Taufiq, tetap saja saya menemukan kesulitan saat mencoba merekam di studio. Gagal, dan gagal lagi. Berkali-kali saya menangis dan duduk dengan lemas. Gila! Seumur-umur, sepanjang sejarah karir saya, belum pernah saya merasakan hal seperti ini. Dilumpuhkan oleh lagu sendiri!”

“Butuh kekuatan untuk bisa menyanyikan lagu itu. Erwin Gutawa yang sudah senewen menunggu lagu terakhir yang belum direkam itu, langsung mengingatkan saya, bahwa keberangkatan ke Australia sudah tak bisa ditunda lagi. Hari terakhir menjelang ke Australia, saya lalu mengajak Yanti ke studio, menemani saya rekaman. Yanti sholat khusus untuk mendoakan saya.”

“Dengan susah payah, akhirnya saya bisa menyanyikan lagu itu hingga selesai. Dan tidak ada take ulang! Tidak mungkin. Karena saya sudah menangis dan tak sanggup menyanyikannya lagi. Jadi jika sekarang Anda mendengarkan lagu itu, itulah suara saya dengan getaran yang paling autentik, dan tak terulang! Jangankan menyanyikannya lagi, bila saya mendengarkan lagu itu saja, rasanya ingin berlari!”

“Lagu itu menjadi salah satu lagu paling penting dalam deretan lagu yang pernah saya nyanyikan. Kekuatan spiritual di dalamnya benar-benar benar meluluhkan perasaan. Itulah pengalaman batin saya yang paling dalam selama menyanyi.”

Demikianlah sekelumit kisah tentang almarhum Chrisye yang sedemikian mendalam dan sensitif penghayatannya terhadap makna Pengadilan Hari Akhir sehingga membuatnya benar-benar “Tak mampu berkata-kata.”

Berikut petikan lirik lagu tersebut :
Akan datang hari mulut dikunci
Kata tak ada lagi
Akan tiba masa tak ada suara
Dari mulut kita
Berkata tangan kita
Tentang apa yang dilakukannya
Berkata kaki kita
Kemana saja dia melangkahnya
Tidak tahu kita bila harinya
Tanggung jawab tiba...

Simak pula lagunya di :
http://www.youtube.com/watch?v=sHOQHgOtBfc
Share

Jumat, 02 Maret 2012

Antara Dendam Dan Sabar


Salah satu sifat yang sangat dibenci Allah adalah sifat dendam karena akan mendatangkan permusuhan yang berkepanjangan antara keluarga, kelompok masyarakat bahkan negara. Kisah berikut ini menegaskan bahwa betapapun berat penderitaan yang ditimpakan kepada kita, lebih diutamakan untuk berlapang dada (sabar) menghadapinya daripada membalas dendam.

Pasca kekalahan dalam perang Badar yang sangat menyesakkan dada bagi kaum kafir Quraisy dimana seribu pasukan kafir Quraisy mampu diporakparandakan oleh tiga ratusan pasukan kaum muslimin, maka Abu Sufyan mulai melakukan propaganda untuk melakukan pembalasan dendam dan singkat cerita terkumpulah sekitar tiga ribu pasukan.

Mendengar hal ini, Rasulullah SAW mengumpulkan para sahabat untuk berunding dan dari hasil musyawarah diputuskan bahwa musuh harus ditahan di luar kota. Dengan membawa sekitar seribu pasukan, Rasulullah SAW menuju bukit Uhud tempat paling strategis untuk menahan dan menangkis serangan musuh, 2 bukit yang menusuk jalan masuk ke Madinah.

Namun belumlah sampai di bukit Uhud, terjadi pengkhiatan besar, Abdullah bin Ubay dengan tiga ratus pengikutnya menarik diri dan memilih kembali ke kota. Mereka merasa gentar karena musuh yang akan dihadapi jauh lebih besar jumlahnya, namun tujuh ratus pasukan yang tersisa tetap melanjutkan perjalanan untuk menghadang tiga ribu pasukan musuh.

Sasaran utama perang ini sebenarnya adalah Rasulullah SAW dan Hamzah bin Abdul Muthalib yang merupakan sahabat sekaligus paman dan saudara sepersusuan Rasulullah SAW. Mereka mempunyai rencana yang sangat keji terhadap Hamzah yaitu dengan menyuruh Washyi bin Harb seorang budak yang mahir dalam menggunakan tombak untuk membunuhnya dan organ hatinya akan diambil untuk dimakan oleh Hindun (istri dari Abu Sufyan) yang mempunyai dendam membara karena ayahnya terbunuh oleh Hamzah dalam perang Badar.

Akhirnya pertempuran dahsyat pun terjadi dan peristiwa ini dikenal dengan Perang Uhud. Meskipun kaum muslimin memiliki jumlah pasukan yang jauh lebih sedikit namun dengan strategi perang yng diterapkan Rasulullah SAW dan semangat juang yang tinggi hingga akhirnya dapat diperkirakan kemenangan berada di pihak kaum muslimin.

Namun, seandainya pasukan pemanah yang berada di atas bukit Uhud tetap patuh pada perintah Rasulullah SAW untuk tetap berada di sana dan tidak meninggalkannya untuk memungut harta rampasan perang yang berada di lembah Uhud, niscaya kaum muslimin akan dapat memenangkan pertempuran tersebut.

Karena kejelian Khalid bin Walid (pemimpin pasukan berkuda dari pihak kafir Quraisy) dalam membaca situasi sehingga akhirnya keadaan menjadi berbalik, pasukan kamu muslimin menjadi tertekan dan kocar-kacir.

Pada satu kesempatan, Hamzah yang sudah diincar gerak-geriknya akhirnya terbunuh. Mereka robek perutnya lalu dikeluarkan hatinya dan dikunyah oleh Hindun (meskipun tidak tertelan dan akhirnya dimuntahkan kembali), kemudian telinga dan hidung Hamzah pun dipotong.

Usai peperangan, Rasulullah SAW bersama para sahabatnya memeriksa jasad dan tubuh para syuhada yang gugur. Sejenak beliau berhenti, menyaksikan dan membisu seraya meneteskan air mata. Tidak sedikitpun terlintas di benaknya bahwa moral bangsa arab telah merosot sedemikian rupa, sehingga dengan teganya berbuat keji dan kejam terhadap jasad Hamzah.

Sambil berdiri di hadapan mayat Hamzah, Rasulullah SAW bersabda “Akan ku bunuh tujuh puluh orang dari mereka sebagai balasan atas perlakuan mereka terhadap dirimu” (sebagaimana diriwayatkan Al Hakim dari Abu Hurairah).

Tidak berapa lama turunlah Jibril menyampaikan wahyu yang langsung menegur Rasulullah SAW yang saat itu masih berdiri di dekat mayat Hamzah :

“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Qs. An Nahl : 126-128)

Ayat-ayat di atas memang dilatarbelakangi oleh peristiwa tersebut (asbabun nuzul : sebab turunnya), namun kalimat dan redaksi ayat tersebut bersifat umum dan mencakup makna yang luas termasuk semua bentuk perjuangan, perselisihan dan perkelahian antar manusia.

Seseorang tidak berhak memberikan balasan yang lebih buruk daripada yang ditimpakan kepadanya, tapi harus setara dengan penderitaan yang dialami. Namun bagi orang yang sudah mencapai kematangan ruhani, ia tak perlu melakukan pembalasan tapi lebih menahan diri dan bersabar.

Itulah yang diperintahkan Allah kepada Rasulullah SAW dan umatnya, agar tidak ada yang beranggapan bahwa kesabaran seperti itu hanya akan menguntungkan pihak lain yang menyakiti dan merugikan kita.

Keistimewahan sikap sabar digambarkan secara terbalik, yaitu bahwa keuntungan akan dirah oleh orang-orang yang sabar, tenang, tidak cepat marah bahkan ketika berada di tengah suasana kekacauan yang luar biasa dan penuh fitnah, kita diharapkan selalu dapat menahan diri, sabar dan tabah.

Buah dari kesabaran Rasulullah SAW tersebut yaitu, sejarah mencatat bahwa kelak dikemudian hari Abu Sufyan dan istrinya Hindun serta budaknya Washyi bin Harb akhirnya bertaubat dan menjadi barisan pelindung yang kuat atas perjuangan Rasulullah SAW. Tidak berapa lama Khalid bin Walid pun menyusul dan kelak menjadi panglima perang kaum muslimin yang tangguh dan disegani lawan serta tidak terkalahkan sepanjang karirnya.


Share

Selasa, 07 Februari 2012

Satu Ayat Yang Menuntun Tobat Sang Penjahat


Kisah berikut ini menjadi salah satu dari sekian banyak bukti bahwa Al Qur’an ketika dibacakan mempunyai kekuatan persuasif yang luar biasa. Susunan redaksi, pilihan kosa kata serta kandungan yang tersirat dan tersurat mampu menggetarkan jiwa sebagian orang yang membaca atau mendengarnya.

Utbah al Ghulam adalah seorang penjahat besar yang hidup di daerah Basrah (Irak). Seorang penjahat yang sangat ditakuti karena terkenal dengan kekejamannya dan tak segan untuk menghabisi atau membunuh korbannya.

Utbah juga sangat benci terhadap orang-orang yang rajin beribadah, hatinya geram setiap kali melihat orang-orang pergi ke masjid. Hingga suatu hari, entah apa yang terbersit dalam hatinya, timbul rasa iseng untuk ikut mendengarkan apa yang disampaikan oleh penceramah pada acara pengajian. Lalu dengan menggunakan penutup muka untuk menyamarkan wajahnya, dia ikut masuk ke dalam masjid.

Kebetulan saat itu yang memberikan ceramah adalah imam Hasan al Bashri seorang ulama terkemuka di kota Basrah. Beliau menguraikan surat Al hadid ayat 16 :

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Usai panjang lebar menjelaskan ayat tersebut, imam Hasan al Bashri menyeru kepada para hadirin terutama bagi orang-orang yang berdosa untuk segera bertobat. Banyak diantaranya yang menangis menyesali segala perbuatan dosanya.

Tiba-tiba ada seseorang yang bangkit dan bertanya “Bagaimana jika dosa orang tersebut sudah sangat banyak, misalnya sudah membunuh ratusan orang?” Imam Hasan al Bashri pun menjawab : “Allah akan memafkan dan mengampuni, asal bertobat dengan sungguh-sungguh, meskipun dosamu sebesar dosa Utbah al Ghulam.”

Mendengar jawaban tersebut, tiba-tiba laki-laki yang tadi bertanya, menangis meraung-raung dan kemudian jatuh pingsan. Setelah disingkap cadarnya ternyata orang itu adalah Utbah al Ghulam, penjahat terkenal itu.

Setelah sadar, imam Hasan al Bashri pun menasihatinya “Bila kamu tahan sentuhan api neraka, maka teruslah melakukan kejahatan, jika tidak maka segerahlah bertobat! Dengan dosa-dosa yang kamu lakukan, berarti telah menghina dan membebani dirimu sendiri. Lepaskanlah dirimu dari dosa itu dengan sungguh-sungguh!”

Sejak saat itu, Utbah al Ghulam bertekad dan mengikrarkan diri untuk bertobat kepada Allah dengan sungguh-sungguh (taubatan nasuha).
Share

Jumat, 06 Januari 2012

Berapa Persen Anda Kehilangan Hidup?


Berapa persen anda merasa kehilangan hidup anda, jika belum berhasil memiliki atau menguasai satu hal? Berapa persen anda merasa telah meraih dan memiliki banyak hal dalam hidup ini?

Setelah puluhan tahun berpisah, dua orang sahabat akhirnya bertemu kembali untuk pertama kalinya. Seorang profesor yang menetap di kota besar berjumpa dengan temannya semasa kecil yang hanya menjadi seorang nelayan sederhana di kampungnya.

Mereka berdua mengulang kisah masa kecil dengan memancing bersama di laut dengan menaiki perahu si nelayan, sambil terus bercerita dan berbincang-bincang seputar pengalaman masa kecil yang dialami bersama.

“Kamu pasti tidak pandai bercakap-cakap dalam bahasa Inggris kan?” kata si profesor. “Ya,” jawab si nelayan. “Karena setelah lulus SD aku tak melanjutkan sekolah, makanya aku sekarang hanya menjadi seorang nelayan, tidak seperti kamu yang sukses sehingga menjadi profesor.”

“Matematika pun kamu tidak bisa kan?” tanya si profesor lagi. “Ya, karena aku dulu bukanlah siswa yang pandai seperti kamu yang selalu juara kelas,” sahut si nelayan.

“Saat ini ilmu pengetahuan menentukan kehidupan seseorang, sehingga jika tidak memilikinya seseorang akan kehilangan lima puluh persen hidupnya,” kata si profesor. “Sayang sekali kamu tidak melanjutkan sekolah,” lanjutnya.

Tiba-tiba terlihat awan mendung dan tak lama hujan turun sangat deras disertai angin kencang. Ombak cukup besar bergulung-gulung mengombang-ambingkan perahu yang mereka tumpangi. Si profesor menjadi sangat ketakutan sambil berpegangan erat-erat pada perahu.

“Tenang saja kawan, cuaca seperti ini sudah biasa terjadi, berdoa saja agar hujan segera reda,” kata si nelayan menenangkan. “Jika hujan tak juga reda, lalu badai datang menghempaskan perahu yang kita tumpangi, bagaimana?” kata si profesor. “Kita tinggal berenang saja sampai ke pantai, tidak jauh kok dari sini,” kata si nelayan melanjutkan sambil menunjuk ke arah pantai.

“Justru itu hal yang aku takutkan, aku tidak bisa berenang,” kata si profesor. “Sayang sekali,” kata si nelayan. “Katamu jika seseorang tidak memiliki ilmu pengetahuan, maka akan kehilangan lima puluh persen hidupnya. Di sini dan dalam kondisi seperti ini, jika seseorang tak bisa berenang maka akan kehilangan seratus persen hidupnya.”
Share