Jumat, 30 Desember 2011

Melebihi Jarak Langit dan Bumi

Seandainya semua orang tahu bahwa kita masih diberi kesempatan oleh Allah Yang Maha Kuasa untuk hidup satu tahun lagi, pasti kita semua akan berlomba-lomba melakukan segala perbuatan baik, demi untuk menutupi dan menghapus dosa-dosa dimasa lalu.

Tapi kematian tetap menjadi rahasia Yang Maha Hidup dan pemberi kehidupan, kematian bisa datang kapan saja dan di mana saja, tidak perlu menunggu tua atau sakit. Berapa banyak orang yang menemui ajal tanpa sempat memperbaiki kesalahannya dimasa lalu bahkan maut menjemput dalam keadaan sedang bergelimang maksiat dan dosa.

Thalhah bin Ubaidillah, salah satu sahabat Rasulullah, pada suatu hari bermimpi. Dalam mimpinya dia mendapati dirinya sedang berada di depan pintu surga bersama dua orang muslim yang dikenal semasa hidupnya rajin beribadah. Salah satunya adalah orang yang mati syahid karena terbunuh dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah dan satunya lagi meninggal satu tahun kemudian.

Malaikat mempersilahkan orang yang meninggal belakangan untuk masuk surga terlebih dahulu. Setelah itu, baru kemudian orang yang syahid dalam peperangan tersebut dipersilahkan masuk. Kemudian malaikat berkata kepada Thalhah bin Ubaidillah “Kembalilah ! Kamu belum saatnya di sini.”

Esok harinya, mimpi itu diceritakan kepada orang-orang dan terjadi sedikit kegaduhan. Mereka heran mengapa orang yang syahid itu justru masuk surga belakangan. Hingga akhirnya cerita perihal mimpi itu sampai ke Rasulullah.

Rasulullah pun menanggapi “Bukankah orang yang meninggal belakangan itu hidup satu tahun lebih lama dari orang yang meninggal sebagai syahid?” “Benar,” jawab mereka. ‘Jika demikian, bukankah orang yang meninggal belakangan masih bisa berjumpa dengan ramadhan, berpuasa penuh dan melaksanakan berbagai ibadah dan kebaikan lainnya?” balas Rasulullah. “Benar” jawab mereka.

“Itulah yang menjadikan kebaikan orang yang meninggal belakangan lebih banyak daripada kebaikan orang yang meninggal lebih dulu meski sebagai syahid. Kebaikan mereka lebih jauh daripada jarak langit dan bumi.”

Dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwasannya Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, “Maukah kalian aku beritahu tentang orang yang terbaik diantara kalian?” Mereka menjawab “Ya Rasulullah” beliau pun melanjutkan “Sebaik-baik kalian adalah yang paling panjang umurnya dan paling baik amalnya.”

Mari kita segera merubah diri menuju kebaikan, saat ini juga dan jangan ditunda-tunda, selagi kita masih diberi waktu dan kesempatan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin amal kebaikan sebagai bekal di akhirat nanti.
Share

Rabu, 21 Desember 2011

Cobalah Pahami Keinginan Ibu Yang Sederhana


Ketika kita masih bayi belum mampu memberi isyarat apalagi berkata-kata, ibu menjadi sosok mulia yang paling memahami segala keinginan kita. Dia tahu saat kita sedang lapar, haus atau sakit. Tangis kita yang hanya satu warna dan hanya bisa dipahami oleh orang lain sebagai satu keinginan, ibu mampu menterjemahkannya ke dalam banyak keinginan lalu memenuhinya.

Saat kita sudah bisa mengucapkan satu dua patah kata, ibu yang pertama mengerti maksud dan keinginan anaknya. Begitu seterusnya dalam setiap fase pertumbuhan kita, sehingga segala keluh kesah kita bisa terjawab dengan kemampuannya memahami keinginan kita.

Ketika kita beranjak dewasa, karena anak dan orang tua lahir pada generasi yang berbeda, zaman yang tak serupa dan perubahan budaya yang tak sama, seringkali memunculkan perbedaan-perbedaan yang membuat komunikasi ibu dan anak tak sepaham, kehendak yang tak seiring dan pikiran yang tak sejalan.

Beberapa kisah berikut menjadi bukti bahwa betapa keinginan-keinginan ibu yang sederhana seringkali ditafsirkan rumit oleh kita sehingga melahirkan praduga yang tak berdasar dan akhirnya tersimpan kecewa di hati ibu.

Ibu adalah orang yang paling tahu kesukaan anaknya sejak kecil dan ia selalu ingin menghadirkan kesenangan-kesenangan itu untuk kita, meski kita sudah dewasa dan merasa sudah tidak dimasa itu lagi atau merasa sudah mampu untuk menghadirkannya sendiri. Hingga jika suatu hari kita datang menjenguknya, ia selalu siap menyajikan makanan kesukaan kita, atau selalu bertanya “Mau makan apa nak?”, “Mau dimasakin apa nak?” Begitu pula ketika kita hendak pulang, ibu selalu membekali oleh-oleh makanan kesukaan kita meski terkadang kita suka mencari-cari alasan untuk menolaknya karena merasa berat membawanya.

Seorang kakak yang hidup diperantauan meminta adiknya untuk mengirimkan paket jamu dari kampung. Ketika barang hendak dikirim, adiknya menelpon minta dikirimkan tambahan biaya karena ibunya menitipkan makanan ringan kesukaan sang kakak sejak kecil yaitu intip (kerak nasi yang dikeringkan).

Sang kakak meminta untuk membawa kembali saja makanan itu karena merasa tidak memesannya. Adiknya yang berkali-kali didesak tetap menolak sambil berkata “Lebih baik aku berikan orang di jalan daripada ibu kecewa, tiap hari kalau masak ditunggui supaya bisa jadi intip. Ibu juga susah payah mencari sinar matahari dibanyak tempat supaya intip cepat kering lalu digoreng dan segera dikirim, kamu kok malah begitu...”

Demi mendengar perkataan adiknya, sang kakak di seberang telpon tiba-tiba dadanya seperti teriris dan tenggorokkanya serak, lidahnya kelu dan pikiran melayang, membayangkan wajah tua ibunya yang begitu tulus melakukan sesuatu untuk membuatnya senang. Sebuah keinginan yang sederhana, tapi ia nyaris menggagalkan nya karena tidak bisa membaca keinginan tersebut.

Suatu hari seorang anak hendak berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Ibunya yang merasa akan berpisah jauh dalam waktu lama, tentu ingin meluapkan perhatian dan kasih sayangnya dengan mengantar si anak ke bandara.

Tapi si anak yang merasa sudah besar dan dewasa menolak niat baik ibunya. Dia menganggap keinginan baik itu seperti perlakukan orang dewasa terhadap anak kecil yang harus selalu ditemani kemanapun pergi.

Mungkin anak itu punya maksud baik, tidak ingin merepotkan ibunya, tapi sebenarnya ia gagal memahami perasaaan hati seorang ibu. Ia tidak mengerti gemuruh hati seorang ibu yang begitu berat melepas anaknya untuk pergi jauh.

Bisa jadi tanpa sengaja kita membuat hati ibu kecewa, anak yang dibesarkannya dengan penuh cinta dan pengorbanan serta disekolahkan hingga pandai, ternyata pikirannya tak mampu menjangkau dalamnya cinta dan kasih sayang orang tua.

Pikiran ibu jauh ke depan, dalam benaknya selalu terselip “Andai ini pertemuan terakhir, aku ingin menatap anakku untuk terakhir kalinya.” Atau juga “Anakku membutuhkan kekuatan doa maka aku ingin mengiringi kepergiannya dengan lantunan doa.”

Usahakan jangan pernah menolak keinginan ibu, sepanjang keinginan itu tak mengandung maksiat dan bertentangan dengan syariat Allah. Meski mungkin ada rasa berat di hati, jangan pernah menolak suatu pemberian darinya walau mungkin sangat sederhana dan tak bernilai di mata kita, karena bisa jadi itu adalah pemberian ibu yang terakhir.

Suatu hari seorang ibu mendatangi tetangganya lalu mencurahkan isi hatinya, “Bu..., saya ini sudah tua sudah tidak banyak keinginan. Saya ini senang sekali kalau melihat ada anak yang mengantarkan makanan untuk orang tuanya. Saya ingin sekali diantarkan makanan atau dibawakan oleh-oleh kalau anak-anak saya pulang dari berbelanja, meski saya sering berbelanja sendiri dan belum terlalu tua untuk bermanja-manja. Saya hanya ingin menikmati makanan atau apa saja dari anak-anak, tidak penting itu mahal atau murah...” cerita ibu dengan raut wajah yang sedih.

Sebuah keinginan yang sangat sederhana, Ibu itu ingin sebuah perhatian yang tulus, berharap tegur sapa anak-anaknya lewat sebungkus makanan atau oleh-oleh kecil lainnya, tapi hal itu tak kunjung ia dapatkan.

Terkadang hal ini tak kita pahami, mungkin karena menganggap orang tua kita terlihat hidup berkecukupan, lalu disimpulkan bahwa mereka tak begitu membutuhkan pemberian kita. Terlebih lagi karena ibu tak pernah bercerita apalagi meminta, tapi bukankah ibu atau orang tua pada umumnya selalu tidak ingin menyusahkan anak-anaknya? Meskipun sebenarnya ia butuh namun berusaha menutupinya.

Semoga kita dapat membahagiakan ibu atau orang tua kita dengan selalu berusaha memahami keinginannya, dari semua sisi, agar kita mampu untuk lebih berbakti demi mengharapkan keberkahan hidup bersamanya. Karena sesungguhnya apapun yang kita berikan, tidak akan pernah sepadan dengan segala pemberian dan curahan kasih sayang yang telah diberikan kepada kita.
Share

Senin, 05 Desember 2011

Peranan Tulang Ekor Dalam Proses Penciptaan & Kebangkitan Manusia


Rasulullah SAW pernah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh HR. Muslim “Seluruh bagian tubuh anak Adam akan musnah dimakan bumi kecuali tulang ekor. Darinyalah ia diciptakan dan denganyalah ia dirakit (dibangkitkan) kembali.”

Belasan abad lamanya, hadist tersebut menjadi hal ghaib yang tidak mungkin bisa dijelaskan dengan logika. Seiring berjalannya waktu, beberapa penelitian ilmiah mampu menjelaskan kebenaran hadits tersebut ditinjau dari sudut pandang ilmiah, sebagaimana dijelaskan oleh
Prof. Dr. Zaghlul Raghib Al-Najjar dalam bukunya “Al-I’jaz al-ilmi fi al-Sunnah al Nabawiyyah” dan diterjemahkan dalam “Buku Induk Mukjizat Ilmiah Hadist Nabi.”

Hans Spemann seorang ilmuwan Jerman bersama timnya meneliti perkembangan sel telur pada hewan percobaannya. Mereka menemukan bahwa sel sperma yang telah bercampur dengan sel telur terbagi-bagi menjadi beberapa kali hingga menjadi sebentuk piringan yang terdiri dari dua lapis sel yaitu epiplast dan hypoplast. Kemudian muncul benang halus pada lapisan paling atas yang disebut
the primary streak atau the primitive streak (benang pertama/benang permulaan).

Pada ujung benang inti ini terdapat simpul pengikat yang disebut
the primary node atau the primitive node (simpul pertama/simpul permulaan).

Para peneliti melihat bahwa “benang pertama” atau “pita pertama” memulai
proses penciptaan seluruh organ dan sistem janin dengan cara menggerakkan beberapa sel lapisan atas (epiplast) kemudian membentuk sel-sel janin sesuai dengan tugas yang telah ditentukannya. Kemudian ia mulai mengatur penyempurnaan bagian tubuh janin lain yang bentuknya belum sempurna.

Mereka juga menemukan bahwa setelah penciptaan seluruh sistem tubuh janin, pita pertama tertarik dan kemudian tersimpan diujung tulang punggung tulang belakang. Mereka tercengang demi mengetahui bahwa proses penciptaan seluruh sistem tubuh janin yang dilakukan oleh sel-sel pertama disepanjang benang pertama dan simpul-simpulnya. Karena itulah mereka menyebutnya The Primary Organizer atau pengatur utama.

Hans Spemann dan timnya pada 1931 mencoba mengisolasi pita pertama tersebut dan
Menanamkannya pada salah satu gen hewan amfibi. Ternyata sel itu tumbuh pada poros lain di luar poros janin indungnya.

Pada tahun 1932 mereka juga mengisoalasi pita pertama tersebut lalu mendidihkannya untuk kemudian ditanam pada janin lain. Ternyata ia tetap menumbuhkan sel-selnya secara mandiri, tidak terpengaruh oleh proses pendidihan tadi.

Akhirnya pada tahun 1935 Hans Spemann dianugerahi Nobel dalam bidang biologi sebagai penghargaan atas penemuan
The Primary Organizer dan perannya dalam penciptaan seluruh struktur jaringan, organ dan sistem janin. Ia juga menemukan bahwa organ ini tidak akan musnah untuk selama-lamanya.

DR. Utsman Gailan dari Mesir pada tahun 2003 melakukan penelitian dengan membakar dua rangkaian
tulang ekor terakhir dari lima tulang belakang kambing hingga benar-benar hitam seperti arang. Setelah diperiksa di laboratorium ternyata sel-sel tersebut sama sekali tidak terpengaruh.

Perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang embriologi terus berkembang, para ilmuwan lain termasuk ilmuwan genetika Keith L. Moore mencoba melakukan penelitian pada tulang ekor manusia dan mendapatkan kesimpulan yang sama pula.

Para ahli genetika dewasa ini sudah mengetahui bahwa sel-sel pita pertama telah dianugerahi oleh Sang Maha pencipta, kemampuan luar biasa untuk memproduksi sel-sel khusus sehingga dikenal pula dengan sebutan
Pleuropotent Primitive Streak Cells atau “Sel Pita pertama Berkemampuan banyak”.

Fakta ilmiah ini sesuai dengan
hadist Rasulullah SAW di atas bahwa “tulang ekor” berperan dalam proses penciptaan manusia. Lantas bagaimana dengan kebangkitan manusia? Simak pula hadist berikut yang diriwayatkan oleh HR. Bukhari :

“Diantara dua tiupan sangkakala lamanya empat puluh (entah 40 hari, bulan atau tahun). Kemudian Allah menurunkan air dari langit, mereka pun
bangkit seperti biji sawi menumbuhkan tunasnya. Tidaklah setiap manusia melainkan akan binasa, kecuali satu tulang, yakni tulang sulbi (tulang ekor), dengannya makhluk dibangkitkan pada hari kiamat.”

Senada dengan hadist tersebut, Allah berfirman dalam Qs. Nuh ayat 17-18 : “Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (daripadanya pada hari kiamat) dengan
sebenar-benarnya.”

Allah mengibaratkan proses
penciptaan manusia dengan tumbuhnya pepohonan, kemudian mengibaratkan proses kebangkitannya seperti munculnya pepohonan di muka bumi. Dan Allah menegaskan bahwa manusia akan dibangkitkan pada hari kiamat “dengan sebenar-benarnya”. Kelak dihari kiamat nanti, semua manusia akan membuktikan kebenaran firman Allah tersebut.
Share

Kamis, 03 November 2011

Kisah Sepotong Buntut Singkong


Kisah ini berawal ketika suatu hari di tahun 1980 an, seorang tukang gorengan yang sedang mangkal tiba-tiba dihampiri seorang anak kecil. Anak tersebut langsung mengambil posisi berdiri di sisi kanan gerobak dengan kaki kiri sedikit diangkat dan ditempelkan pada kaki kanan serta menggigit jari telunjuk kanannya. Tanpa berkata-kata dengan posisi tersebut, anak itu terus menatap ke arah gerobak.

Melihat hal itu, tukang gorengan tetap tidak bereaksi dan berkata apapun, meski kejadian ini terus berulang sampai hari ketiga dengan posisi berdiri dan gaya yang sama.

Pada hari keempat tukang gorengan mulai berfikir dan ada perasaan kasihan pada anak itu, “Sepertinya dia akan datang lagi hari ini.” Maka buntut singkong yang biasanya dibuang, kali ini digoreng dan disiapkan untuk diberikan nanti.

Benar saja anak itu datang lagi, lalu diberikannya buntut singkong yang sudah digoreng tadi. Betapa senangnya anak itu sambil tersenyum lebar dan mata yang berbinar-binar dia pun berlari dengan senangnya.

Tukang gorengan hanya bisa menggelengkan kepala melihat reaksi anak itu yang sedemikian senangnya meskipun dia hanya memberikan buntut singkong. Kejadian ini terus berulang sampai empat hari berturut-turut hingga akhirnya anak itu tidak datang lagi.

Dua puluh empat tahun kemudian, masih dengan gerobak yang sama dan tempat mangkal yang sama, seorang pemuda berumur sekitar 30 tahun mendatangi gerobak tersebut. “Ada buntut singkong pak?” tanya pemuda itu.

Tukang gorengan terpana sejenak dengan pertanyaan itu. “Enggak ada” sahutnya, “Buntut singkong mah enggak enak pahit, makanya enggak dijual. Cari yang lain saja!” lanjutnya.

Pemuda itu hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala menolak tawaran tersebut.”Bapak masih kenal saya?” tanyanya. Tukang gorengan memandangi pemuda itu cukup lama, berusaha mengenalinya dan balik bertanya “Sepertinya kenal tapi siapa ya?”

Sambil terus tersenyum, pemuda itu berkata “Sebentar pak, saya akan peragakan sesuatu, pasti bapak kenal saya.” Lalu pemuda itu memperagakan posisi berdiri setengah kaki dengan menggigit jari telunjuk kanannya, persis seperti yang dia lakukan dua puluh empat tahun yang lalu.

“Oh rupanya kamu anak kecil yang dulu saya kasih buntut singkong ya?” ujarnya. “Betul sekali pak” jawab pemuda itu. “Maaf ya, bapak dulu hanya kasih kamu buntut singkong” kata tukang gorengan sedikit menahan malu. “Enggak pak, justru dulu Bapak sudah memberikan kebahagiaan untuk saya” sanggah pemuda itu.

Dengan sedikit berkaca-kaca, pemuda itu lalu bercerita.”Dulu waktu saya datang ke gerobak Bapak, baru beberapa hari ayah saya meninggal. Saya tidak lagi punya uang jajan seperti dulu sedangkan kawan-kawan saya tidak mau menemani bermain hanya karena tidak punya uang jajan. Saya lalu mendatangi beberapa warung tapi malah diusir.”

“Ketika mendatangi gerobak Bapak, saya tidak diusir tapi tidak ditegur dan tidak diberi apa-apa. Saya pantang menyerah sampai akhirnya dikasih buntut singkong itu.”

Pemuda itu melanjutkan ceritanya bahwa dia senang sekali karena bisa bergabung kembali dengan teman-temannya dan menunjukkan jajanannya. Padahal dia hanya berpura-pura dengan cara kedua tangannya seolah-olah menggenggam satu singkong utuh dan hanya ujungnya atau buntut singkong yang menyembul ke atas.

“Jadi begitu ceritanya pak...” kata pemuda itu seraya menjelaskan bahwa beberapa hari kemudian dia tidak lagi mendatangi gerobaknya karena diajak ibunya pindah rumah.

Tiba-tiba dengan air mata yang berlinang, pemuda itu berkata “Pak... saya mau berterima kaih sama Bapak, saya mau membayar empat buntut singkong itu. Bulan depan kebetulan saya mau umroh..., saya mau Bapak juga ikut umroh ke tanah suci.”

Umrah?” tukang gorengan menatap dengan penuh keheranan dan tidak percaya. Bagaimana mungkin perbuatan kecil yang dia lakukan beberapa tahun yang lalu dan sudah dilupakan kejadiannya, tiba-tiba kini berbuah tawaran untuk berumroh.

Allah Maha Besar, tidak ada yang tidak mungkin, janji Allah itu pasti. Allah tidak akan membiarkan berlalu begitu saja kebaikan yang kita lakukan sekecil apapun, sebagaimana firman Nya dalam Qs. Az Zalzalah : 7 “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.”

Bahkan tak jarang Allah melipatgandakan balasan kebaikan yang kita lakukan, perhatikan petikan ayat berikut ini :

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al Baqarah:261).

Semoga kisah ini dapat menginspirasi saya dan kita semua untuk selalu menebarkan kebaikan dan kebahagiaan bagi orang lain, sedikit sedekah atau kebaikan yang kita berikan bisa jadi sangat berarti bagi mereka yang membutuhkan.


* Kisah nyata, sebagaimana yang dikisahkan oleh ust. Yusuf Mansyur dalam bukunya “Miracle of Giving, Keajaiban Sedekah”.
Share

Kamis, 29 September 2011

Memberi Tanpa Diminta, Tanpa Berharap Kembali



Salah satu nama Allah (Asma’ul Husna) adalah sifat Al Wahhab yang berarti Maha Pemberi. Dia memberikan rahmat dan karuniaNya kepada manusia dan seluruh makhluk tanpa pamrih atau berharap imbalan karena Dia tidak membutuhkan apapun dari makhlukNya.

Allah juga maha pemberi tanpa diminta. Air, udara, sinar matahari, hujan yang turun dan masih banyak lagi, semua disediakan untuk manusia walaupun kebanyakan manusia tidak berdo’a dan memintanya.

Seandainya seluruh manusia ingkar kepadaNya, tidak akan berkurang sedikitpun keagungan dan kebesaranNya dan sebaliknya kemuliaan dan kewibawaanNya tidak akan bertambah sedikitpun, seandainya seluruh manusia patuh dan tunduk kepadaNya.

Tidak seorangpun yang berhak menyandang Al Wahhab, sebab manusia memiliki sifat tidak sempurna, serba kekurangan sehingga tidak bisa memberi secara berkesinambungan. Sedangkan Allah adalah maha pemberi dengan terus berkesinambungan. Maha suci Allah dari ketergantungan terhadap apapun, Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu.

Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa pada hakekatnya tidak ada pemberian tanpa tujuan dan harapan, kecuali Allah SWT. Setiap manusia pasti mengharapkan sesuatu atas semua perbuatannya, baik dalam bentuk pujian, meraih kehormatan, persahabatan atau sekedar menghindari celaan.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa, seseorang yang senantiasa beribadah kepada Allah juga tak lepas dari pamrih, yaitu demi mendapatkan surga atau terhindar dari neraka. Bahkan seorang alim yang beribadah demi meraih cinta dan syukur kepada Allah, tidak sepenuhnya terhindar dari upaya atau harapan meraih imbalan.

Karena hanya sampai disitu batas kemampuan manusia, maka Allah masih memberi toleransi mereka yang beribadah untuk meraih surga atau terhindar dari neraka, selama ibadah yang dilakukannya karena Allah.

Bahkan Allah merangsang manusia untuk berbuat kebaikan dengan istilah “Perniagaan” atau ” Jual beli”. Perhatikan ayat berikut ini, “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?” (QS. 61:10).

Apakah perniagaan itu? Berikut lanjutannya, “(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya,” (QS. 61:11).

Apakah imbalan (keuntungan) yang diraih dari perniagaan itu? Yaitu, “Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga Adn. Itulah keberuntungan yang besar,” (QS. 61:12).

Jadi sekali lagi ditegaskan bahwa manusia tidak bisa menjadi Al Wahhab, karena tidak ada sesuatupun yang dikerjakannya luput dari tujuan mendapatkan imbalan termasuk dalam hal ibadah. Namun demikian bukan berarti kita tidak dapat meneladani sifat ini sebatas kemampuan dan toleransi yang disebutkan tadi. Karena itu meneladani sifat ini dibutuhkan upaya terus menerus untuk memberi sekuat kemampuan.

“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau sesatkan hati kami sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami dan anugerahilah kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkaulah al-Wahhab, Maha Pemberi. (QS. 3: 8)

Semoga Allah Yang maha kaya lagi maha sempurna pemberian-Nya mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk ikhlas dalam beramal, kemampuan untuk tidak bergantung selain kepada-Nya.
Share

Kamis, 01 September 2011

Benarkah Silaturahmi Dapat Memperpanjang Umur ?


Banyak faktor yang mempengaruhi kesuksesan seseorang sehingga dapat hidup kaya raya selain karena keuletan, kerja keras dan semangat pantang menyerah dalam berusaha, demikian pula banyak hal yang menyebabkan seseorang dapat berumur panjang selain karena pola makan yang sehat, gaya hidup dan kebiasaan berolahraga.

Hadits Nabi Muhammad SAW perihal kedua hal tersebut di atas, salah satunya adalah seperti yang diriwayatkan oleh HR Bukhari, Muslim dan Abu Dawud yang berbunyi "Barangsiapa yang ingin dimudahkan rejekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi". Benarkah bahwa membina hubungan antar sesama atau dalam bahasa Islamnya “Silaturahmi” dapat menyebabkan rejeki seseorang bertambah luas dan memperpanjang usia? Kalau memang benar, lalu bagaimana ilmu pengetahuan modern dapat menjawab dan membuktikannya?

Silaturahmi dapat memperluas rejeki dapat dipahami bahwa rejeki mudah dicari selagi kita mempunyai hubungan baik dengan sesama dan seterusnya dapat berkembang menjadi kepercayaan dan amanah. Seseorang tentu akan dengan mudah mempercayakan harta (modalnya) untuk diurus dan dikelola oleh kita, jika mempunyai hubungan baik dengan kita.

Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 1970 an oleh seorang sosiolog Harvard bernama Mark Granovetter tentang cara atau bagaimana orang mendapatkan pekerjaan. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa mayoritas orang mendapat pekerjaan berdasarkan koneksi pribadi. Jadi bisa disimpulkan karena koneksi atau hubungan silaturrahmi itulah seseorang mendapatkan pekerjaan.

Saat ini ilmu-ilmu pemasaran modern sudah mengakui bahwa teknik-teknik pemasaran melalui jaringan teman dan keluarga terbukti ampuh untuk mendongkrak penjualan suatu produk, sehingga tak heran jika situs jejaring sosial yang sedang menjadi tren saat ini menjadi lahan yang empuk untuk mengembangkan usaha dan bisnis.

Makna dari silaturahmi dapat memanjangkan umur oleh ulama-ulama terdahulu kerap dimaknai bahwa dengan seringnya kita menjalin silaturahmi atau membina hubungan baik dengan sesama, maka kita akan dicintai dan disenangi banyak orang meskipun sudah wafat berkalang tanah, namun nama kita masih dikenang dan sering disebut-sebut kebaikannya. Contohnya tokoh-tokoh besar yang karena kebaikan hubungan yang pernah mereka bangun dan jasa-jasanya terhadap orang lain, meskipun sudah wafat mereka tetap dikenang orang hingga kini.

Benarkah hadits tersebut memiliki makna yang tersirat seperti itu ? Argumentasi tersebut tentu tidak sepenuhnya benar karena tidak sedikit tokoh-tokoh di dunia ini yang justru dikenal dan dikenang orang sebagai diktator yang kejam yang banyak musuh dan banyak mensengsarakan rakyatnya selama berkuasa.

Tim yang dipimpin oleh Hold Lunstad seorang psikolog dari Brigham Young University di Utah melakukan analisis terhadap sejumlah penelitian tentang efek hubungan sosial pada kesehatan. Tim tersebut melakukan analisis 148 penelitian terhadap 308 ribu lebih orang yang kehidupannya diikuti selama rata-rata 7,5 tahun.

Hubungan sosial dalam penelitian ini diukur dengan beberapa cara, mulai dari yang sederhana seperti apakah orang tersebut menikah atau hidup sendirian. Juga dilihat dari persepsi seseorang, apakah mereka merasa akan ada orang lain yang akan segera membantunya saat mereka membutuhkan pertolongan. Kemudian penilaian lain diambil dari seberapa kuat seseorang terlibat dalam komunitasnya dan seterusnya. Hasil penelitian ini lalu dicek silang dengan usia, jenis kelamin, status kesehatan dan penyebab kematian saat orang tersebut meninggal.

Hasil penelitian tersebut seperti yang dipublikasikan belum lama ini di jurnal Plos Medicine terbitan Public Library of Science menyimpulkan bahwa orang dengan hubungan sosial yang kuat akan 50 persen lebih panjang umur dibandingkan dengan mereka yang tanpa dukungan ini. Memiliki hubungan sosial yang baik seperti dengan teman, pernikahan atau anak sama baiknya untuk menjaga kesehatan seperti halnya berhenti merokok, menurunkan berat badan atau bahkan minum obat.

Memiliki hubungan sosial yang buruk ternyata setara dengan menjadi pecandu alkohol dan lebih membayakan dibanding tidak berolahraga serta dua kali lebih berbahaya dibanding obesitas (kelebihan berat badan).

Tidak memiliki hubungan sosial ternyata berdampak yang lebih besar untuk kematian muda dibanding tidak melakukan vaksinasi untuk mencegah pneumonia (radang paru-paru) diusia muda, tidak mengkonsumsi obat tekanan darah tinggi atau terpapar polusi udara.

Hold Lunstad menjelaskan lebih lanjut perihal bagaimana kehidupan sosial bisa mempengaruhi kesehatan, yaitu keberadaan orang yang dekat secara emosional disekeliling kita, membuat kita mampu menghadapi stress hidup, sesuatu yang diketahui bisa menyebabkan kematian jika kita tak sanggup menghadapinya.

Hold Lunstad berujar “Saat kita menghadapi kejadian yang potensial menimbulkan stress dalam hidup, kita tahu bahwa ada orang-orang disekeliling kita yang bisa diandalkan. Ini menjadikan kita percaya bahwa mereka akan membuat kita mampu menghadapinya. Bisa juga keberadaan mereka mencegah berbagai efek negatif dari stress”.

Penelitian lain yang juga pernah dilakukan oleh dua orang ahli epidemi penyakit antara tahun 1965-1974 terhadap gaya hidup dan kesehatan penduduk Alameda County, California yang berjumlah 4.725 orang. Hasil penelitian menemukan bahwa angka kematian tiga kali lebih tinggi pada orang yang eksklusif (tertutup) dibandingkan orang yang rajin bersilaturahmi dan menjalin hubungan.

Kemudian sebuah penelitian lain pada penduduk Seattle ditahun 1997 menyimpulkan bahwa biaya kesehatan lebih rendah didapati pada keluarga yang suka bersilaturrahmi dengan orang lain dan MacArthur Foundation di AS mengeluarkan kesimpulan sejalan yang menyatakan bahwa manusia lanjut usia (manula) bisa bertahan hidup lebih lama itu disebabkan mereka kerap bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabat serta rajin hadir dalam pertemuan-pertemuan.

Jadi benarlah hadits Nabi Muhammad SAW bahwa menyambung tali silaturahmi atau menjalin dan membina hubungan baik dengan tetangga, teman dan sanak keluarga dapat meluaskan rejeki dan memperpanjang umur seseorang. Maka momentum Idul Fitri tahun ini setelah menjalani ibadah puasa selama bulan Ramadhan, mari kita jadikan sebagai sarana untuk menyambung kembali tali silaturahmi yang pernah terputus dengan saling memaafkan dan melupakan kesalahan dimasa lalu, mempererat kembali hubungan yang sudah terjalin serta memperluas jaringan silaturahmi dengan tetangga baru dan teman baru.
Share

Minggu, 28 Agustus 2011

Pura-pura Tuli, Pura-pura Tidak Tahu


Ada perasaan kagum sekaligus bercampur malu terhadap diri ini ketika saya membaca kisah seorang tabi’in shalih yang bernama Abu Abdurrahman Hatim bin Unwan atau lebih dikenal dengan nama Hatim al Asham.

Kisah ini bermula ketika suatu hari beliau didatangani seorang wanita yang bermaksud menanyakan sesuatu. Tanpa disengaja wanita itu tiba-tiba buang angin (maaf : kentut). Hatim tidak ingin tamunya menjadi malu karena hal tersebut, kemudian beliau mencoba menutupinya dengan mengatakan, “Berbicaralah dengan keras, karena pendengaranku kurang tajam.” Wanita itupun senang dan tidak salah tingkah karena mengira Hatim tidak mendengarnya.

Sejak saat itu, kira-kira lima belas tahun selama wanita itu masih hidup, Hatim berpura-pura memiliki pendengaran yang kurang normal. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada seorang pun yang bercerita kepada wanita itu bahwa sesungguhnya beliau tidak tuli.

Setelah wanita tersebut meninggal dunia, barulah Hatim dengan mudah menjawab kepada siapa pun yang bertanya. Tapi karena sudah terbiasa, beliau selalu berkata, “Bicaralah lebih keras!” Itulah sebabnya orang-orang biasa memanggilnya dengan sebutan Hatim al Asham atau Hatim si tuli.

Kekaguman saya terhadap Hatim al Asham karena kelapangan hatinya yang luar biasa, sikap berpura-pura tidak tahu atas kekeliruan yang tidak sengaja dilakukan orang lain, sikap toleran dan memaklumi kesalahan yang tidak direncanakan yang tidak berakibat buruk terhadap orang banyak. Sikap tersebut biasa disebut dengan istilah taghaful yaitu sikap seseorang yang tahu dan mengerti tentang sesuatu namun menampakkan dirinya seolah-olah tidak tahu (mengabaikan).

Perasaan malu yang menghinggapi diri ini karena terkadang saya tertawa atas kesalahan kecil yang tak sengaja dilakukan orang lain. Berlaku tidak seimbang dalam menilai orang, menghapus semua kebaikan yang pernah dilakukan dan hanya memikirkan serta membesar-besarkan kesalahannya.

Termasuk sikap taghaful adalah seperti yang ditunjukkan oleh Atha bin Rabah, seorang ulama dan ahli hadits. Pernah suatu ketika seseorang datang kepadanya menyampaikan sebuah hadits Rasulullah SAW. Beliau diam dan mendengarkan hadits itu dengan baik, seolah belum pernah mendengarnya kecuali dari yang diucapkan pemuda tersebut. Padahal hadits itu sudah didengar dan dihafalnya sejak sebelum pemuda itu lahir.

Saya pun sangat terkesan dengan sikap taghaful dari komandan perang Qutaibah bin Muslim al Bahily yang kedatangan seorang pemuda untuk menyampaikan sesuatu kepadanya. Ketika pemuda itu duduk menghadap dan meletakkan pedangnya yang masih terhunus, tanpa sengaja ketajaman pedang itu melukai jari kaki Quthaibah sehingga berdarah. Pemuda itu tidak tahu karena Quthaibah berusaha diam dan terus mendengarkan permasalahan yang disampaikan kepadanya. Setelah urusan pemuda itu selesai, mengucapkan terima kasih dan pergi, barulah Quthaibah meminta sapu tangan untuk membersihkan darah dari jari kakinya. “Mengapa tidak engkau sampaikan saja pada pemuda itu wahai Quthaibah?” tanya seorang sahabatnya. “Aku takut ucapan itu akan menghalanginya dari menyampaikan keperluannya” jawab Quthaibah.

Sungguh luar biasa, seperti inilah akhlak dan sikap seorang pemimpin yang shalih. Dengan kedudukannya sebagai komandan, dimungkinkan dan boleh untuk sekadar mengingatkan pemuda itu, tapi hal ini tidak dilakukannya. Bahkan menggeser kakinya agar tidak terlalu lama terkena ujung pedang, itupun tidak dilakukannya.

Ya Allah jadikanlah hamba-Mu ini dapat mengambil pelajaran dan meniru sikap taghaful dari orang-orang shalih terdahulu agar dengan segala kerendahan hati, mampu bersikap toleran, mudah memaafkan, lapang dada, ringan memaklumi kekeliruan orang lain selama kekeliruan itu tidak menentang kebenaran mutlak dari Allah dan Rasulullah SAW, amin.
Share

Jumat, 24 Juni 2011

Perginya Lelaki Bersahaja Itu


Ketika hujan turun dengan tiba-tiba tanpa didahului dengan awan mendung yang memberi isyarat, tak ada petir yang memberi pertanda dan tak ada angin yang mengabarkan tentu membuat sebagian orang panik dan terkejut, demikian pula halnya ketika seseorang secara tiba-tiba pergi untuk selama-lamanya meninggalkan dunia yang fana ini, pasti menyisakan duka yang mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan dan beragam penyesalan karena merasa belum siap untuk ditinggalkan.

Allah sudah menegaskan bahwa “Setiap yang berjiwa akan merasakan mati...”, cepat atau lambat, siap atau tidak siap kita harus mempersiapkan diri dengan bekal amal kebaikan sebanyak mungkin. Meski kepergian seseorang terkadang tanpa memberikan pertanda tetapi pasca kepergiannya terkadang meninggalkan jejak yang menunjukkan bagaimana amal perbuatannya selama hidup di dunia ini seperti halnya kisah berikut ini.

Adalah ayahanda tercinta dari istri saya, tokoh yang cukup dikenal dan dihormati di seantero komplek perumahan kami. Bisa jadi keterkenalan tersebut karena beliau adalah mantan pejabat dengan posisi jabatan terakhir cukup tinggi dan pada masa pensiunnya beliau masih aktif sebagai pengurus pada yayasan pensiun.

Kami sebagai anaknya yang bertempat tinggal kurang lebih 600 meter dari rumah beliau, terkadang ikut merasakan perlakuan “istimewa” dari orang-orang sekitar komplek. Pernah suatu ketika istri saya berbelanja pada tukang gerobak sayur yang biasa mangkal di seberang rumah kami, cukup ramai yang berbelanja saat itu tapi istri saya selalu didahulukan untuk dilayani dan perlakuan yang sama juga sering kami alami ketika membeli sesuatu di warung sebelah rumah. Ketika kami sedang berjalan di sebuah gang seringkali mendapatkan tegur sapa dan senyum ramah dari orang di depan rumah yang kami lewati demikian halnya senyum ramah dari beberapa tukang becak yang kebetulan berpapasan dengan kami.

Suatu hari kami dikejutkan oleh kabar bahwa beliau tiba-tiba pingsan ketika sedang rapat di kantor yayasan pensiun dan tak lama berselang menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumah sakit terdekat. Isak tangispun pecah, beliau wafat meninggalkan kami untuk selama-lamanya tanpa kami bisa mencegah atau menundanya sedetik pun.

Terdengar pengumuman di masjid yang mengabarkan perihal meninggalnya beliau. Awalnya penyampaiannya berjalan dengan lancar, namun ketika pengumuman diulang untuk yang kedua kalinya, terdengar si penyampai berita menyampaikannya dengan terbata-bata menahan isak tangis. Mungkin orang tersebut adalah teman almarhum sesama jama’ah masjid yang merasa kehilangan dengan kepergiannya.

Rumah beliaupun ramai dan tak henti-hentinya dikunjungi oleh orang-orang yang datang silih berganti untuk bertakziah dan menyampaikan belasungkawa. Saya sempat terkejut ketika mengetahui dari tetangga bahwa diantara orang-orang yang datang ada beberapa tukang ojek yang biasa mangkal di ujung jalan itu, hansip dan tukang sayur yang biasa mangkal di seberang rumah kami serta tukang becak yang sering hilir-mudik di komplek pun datang. Anak saya juga mengatakan bahwa ternyata tukang odong-odong yang biasa keliling komplek juga datang.

Usai dimandikan dan dikafani, jenazah dibawa ke masjid untuk disholati dan karena sedikit terlambat masuk masjid, sayapun kebagian shaf (baris) paling belakang. Berdiri disamping kiri saya seorang lelaki kurus tinggi ikut mensholati jenazah dan betapa terkejutnya saya usai sholat ketika melihat lelaki yang tadi berdiri disamping saya sudah mengenakan rompi dan tas yang diselempangkan di pundak, ternyata dia adalah penjaja koran yang biasa menjadi langganan almarhum.

Malam harinya saya sempat pulang ke rumah sebentar dan mampir untuk membeli bubur ayam yang biasa mangkal di depan masjid. Tukang bubur memulai percakapan “Nggak sangka ya mas, pak Haji sudah nggak ada ! Padahal baru kemarin malam lewat sini”. Saya pun hanya tersenyum kecil, lalu tukang bubur melanjutkan ceritanya “Pak Haji cuma bilang sama saya, ayo mas mari pulang sudah mau hujan nih...”.

Dari sini dan beberapa kejadian sebelumnya, saya bisa menarik kesimpulan bahwa banyak orang yang menaruh hormat kepada beliau bukan karena ketinggian jabatan yang pernah diembannya tetapi lebih dikarenakan kerendahan hati dan kesederhanaan beliau. Kerendahan hati itu ditunjukkannya dengan keramahan dan tak segan untuk menegur sapa terlebih dahulu kepada siapa saja yang dijumpainya tanpa memandang status sosial atau kedudukan seseorang.

Kehidupan beliau terlihat begitu kontras dengan kisah-kisah beberapa orang yang semasa hidupnya begitu dihormati dan ditakuti karena jabatan atau kekuasaan yang diembannya tetapi ketika orang itu turun dari jabatannya, banyak orang yang “Bertepuk tangan” karena merasa terbebas dari tekanan yang sekian lama mereka rasakan . Dimasa pensiunnya, beberapa mantan bawahannya tidak menaruh hormat lagi kepadanya bahkan hanya sekedar berpapasan dan bertegur sapa, jika ada kesempatan untuk menghindar, mereka akan melakukannya. Lalu jika orang tersebut wafat, masih banyakkah orang yang peduli ?

Hidup adalah sebuah pilihan, apakah kita ingin menjadi orang yang dihormati ketika hidup di dunia dan tetap dihormati dan dikenang orang setelah kita di alam kubur karena kerendahan hati dan kebaikan kita kepada sesama ataukah sebaliknya?

Robbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hassanah wa qina adza bannar “. Ya Allah berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari siksa api neraka.

Share

Sabtu, 26 Maret 2011

Ketika Memasuki Usia Empat Puluh Tahun

Banyak orang yang terperanjat bahwa ternyata saat ini dia telah memasuki usia 40 tahun, sebagian ada yang berhitung target apa yang sudah diraih dan apa yang belum tercapai dalam hidupnya kemudian memikirkan langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya tetapi tidak sedikit pula yang tidak menyadarinya karena sibuk dengan impian-impiannya atau tengah terbuai dalam manisnya kesuksesan.

Ketika memasuki usia 40 tahunan, manusia secara fisiologis mulai mengalami penurunan , tidak sekuat usia 30 atau 20 tahunan, uban mulai tumbuh, pantangan dan kelemahan mulai tampak. Di sisi lain fase kearifan hidup dimulai, kematangan pengalaman, baik buruk, jalur, rambu dan lapis-lapis kehidupan sudah begitu transparan bagi mata batinnya, fase fisik sudah dilalui dan bukan pula fase coba-coba.

Maka dapat dipahami jika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama yang menandai dimulainya misi kenabiannya ketika beliau berusia 40 tahun. Allah pun secara khusus menyebut angka usia 40 tahun dalam sebuah ayat yang menjelaskan kewajiban seorang anak berbakti kepada ibu bapaknya “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Qs 46 : Al Ahqaaf ayat 15).

Allah mengajarkan kepada manusia doa kesadaran akan peran masa lalu (ibu- bapak), kesadaran untuk mensyukuri begitu banyak nikmat yang telah Allah berikan termasuk kenikmatan yang telah diberikan melalui kasih sayang kedua orang tua kita.

Allah mengajarkan pula doa tentang masa kini (diri sendiri) yang berisi permohonan agar bisa lebih giat dan kuat untuk menjalani amal-amal shalih untuk mendapatkan ridha Allah.

Kemudian doa yang berisi pengharapan masa depan (untuk anak-cucu), doa yang dilandasi kesadaran akan tanggung jawab terhadap anak dan cucu yang juga akan menjalani kehidupan seperti yang dialaminya, kesadaran bahwa kelak anak dan cucu tidak mungkin selalu kita dampingi dan arahkan jejak langkahnya.

Inilah doa penuh permohonan, kesyukuran, dan pertobatan yang perlu dilantunkan secara khusyuk dan sepenuh jiwa oleh siapa pun yang punya kesadaran akan usia, posisi, peran, peluang serta hakikat kehidupannya.

Imam Al Ghazali pernah mengatakan “Barangsiapa yang telah melampui usia 40 tahun sedangkan kebaikannya tidak dapat mengalahkan kejahatannya, maka hendaklah dia mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam neraka”.

Imam Syafi'i setelah mencapai umur 40 tahunan, berjalan dengan menggunakan sebatang tongkat kayu. Ketika ditanya sebabnya, ia berkata "Supaya aku sentiasa ingat bahwa aku adalah seorang musafir yang sedang berjalan menuju akhirat."

Usia 40 tahun adalah saat dimana peran-peran besar sedang dimulai karena dalam keyakinan Islam kita, usia berapapun tak pernah boleh menjadikan seseorang merasa lebih lemah untuk melakukan kebaikan. Imam Ahmad dalam usia renta ditanya, ”Sampai kapan engkau akan menulis hadits?” Kemudian jawabnya, ”Sampai mati.”

Usia seseorang sepenuhnya menjadi rahasia Allah bahwa kematian bisa datang kapan saja dan di mana saja maka berhati-hatilah. Mari kita segera merubah diri menuju kebaikan, mumpung kita masih diberi WAKTU & KESEMPATAN untuk mengumpulkan cukup amal kebaikan sebagai bekal untuk bertemu dengan Allah di hari penghisaban nanti.

Ijinkan saya meminjam catatan syair Ebiet G. Ade “Kita meski bersyukur bahwa kita masih di beri waktu, entah sampai kapan tak ada yang dapat menghitung, hanya atas kasih Nya, hanya atas kehendak Mu, kita masih bertemu matahari, kepada rumput ilalang, kepada bintang gemintang, kita dapat mencoba meminjam catatannya, sampai kapan kita berada, waktu yang masih tersisa, semuanya menggeleng, semuanya terdiam, semuanya menjawab tak mengerti, yang terbaik hanyalah segeralah bersujud, mumpung kita masih diberi waktu.”
Share

Sabtu, 19 Maret 2011

Dan Bulan Pun Telah Terbelah Dua


Engkau laksana bulan tinggi di atas kayangan, hatiku telah kau tawan hidupku tak karuan, mengapa ku disiksa, mengapa kita bersua, berjumpa dan bercinta tetapi menderita.

Entah sudah berapa banyak puisi dan lagu yang menggunakan bulan sebagai kiasan untuk menggambarkan kecantikan atau perasaan cinta seseorang, bahkan tidak jarang bulan kerap dijadikan sebagai saksi untuk membuktikan ketulusan cinta. Lantas ketika bulan terbelah menjadi dua dalam arti yang sesungguhnya bukan kiasan, siapakah yang menjadi saksi? Apakah mereka mempercayainya? Berikut ini adalah kisahnya.

Peristiwa terbelahnya bulan terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW sebelum hijrah dari Mekah ke Madinah. Suatu ketika orang-orang Quraisy dengan nada mengejek berkata : “Wahai Muhammad kalau engkau benar Nabi dan Rasul, coba tunjukkan kepada kami satu kehebatan yang bisa membuktikan kenabian dan kerasulanmu!” Lantas Rasulullah bertanya “Apa yang kalian inginkan?” dan mereka menjawab “coba belah rembulan...!”. Rasulullah bertanya: “Apakah kalian akan masuk Islam jika aku sanggup melakukannya?” dan mereka menjawab, “Ya.”

Rasulullah berdiri dan terdiam sambil berdo’a kepada Allah agar menolongnya, atas petunjuk Allah, Rasulullah mengarahkan telunjuknya ke bulan dan terbelahlah bulan dengan sebenar-benarnya dan demikian jauh jarak belahan bulan itu sehingga gunung Hira nampak berada diantara keduanya. Bukannya percaya, orang-orang itu serta merta berkata “Muhammad engkau benar-benar telah menyihir kami...”, padahal mereka menyaksikan pembelahan bulan dengan seksama.

Mereka berpendapat bahwa sihir bisa saja menyihir orang yang ada disekitar sang penyihir tetapi tidak bisa menyihir orang yang ada di tempat lain. Lalu mereka pun menunggu orang-orang yang akan pulang dari perjalanan.

Mereka pun bergegas keluar ke batas kota Mekah, menunggu orang-orang yang baru pulang dari perjalanan. Ketika datang rombongan yang pertama kali menuju Mekah, mereka bertanya “Apakah kalian melihat sesuatu yang aneh dengan bulan?” Mereka menjawab, “Ya benar, pada suatu malam yang lalu kami melihat bulan terbelah menjadi dua dan saling menjauh kemudian bersatu kembali…”

Mendengar hal itu sebagian dari mereka lalu beriman tetapi sebagian lagi tetap ingkar, karena itu Allah menurunkan ayat-Nya “Telah dekat (datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat sesuatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata: "(ini adalah) sihir yang terus menerus". Dan mereka mendustakan (Nabi) dan mengikuti hawa nafsu mereka, sedang tiap-tiap urusan telah ada ketetapannya.” (Qs.Al Qamar/Bulan : 1-3).

Bukti lain bahwa bulan pernah terbelah dan disaksikan oleh orang lain di tempat yang berbeda terdokumentasikan dalam sebuah manuskrip (naskah) tua di perpustakaan India, London dengan nomor Arabic : 2807, 152-173 yang dikutip di buku “Muhammad Rasulullah” oleh M. Hamidullah, diceritakan bahwa seorang raja dari Malabar (India) yang bernama Cakrawati Farmas juga telah menyaksikan peristiwa terbelahnya bulan. Kemudian dari sekumpulan pedagang muslim yang singgah di Malabar, raja mengetahui bahwa peristiwa terbelahnya bulan itu adalah Mukjizat dari seorang Rasul di Mekah yang bernama Muhammad dan setelah mempelajari hal tersebut (Raja tahu bahwa kitab ramalan masa depan Hindu “Bhavisya Puran” meramalkan akan adanya utusan dari daerah berpasir yang mampu membelah bulan). Raja lalu menugaskan anak lelakinya sebagai pemimpin dan raja pergi untuk menemui utusan itu. Dia memeluk agama Islam di tangan Nabi Muhammad SAW, tapi sayang ketika pulang ke negerinya, raja wafat di pelabuhan Zafar – Yaman.

Selain itu, sejarah India kuno yang pada waktu peristiwa itu belum mengenal Islam telah mencatat peristiwa bulan terbelah. Sayyid Mahmud Syukri al-Alusi, dalam bukunya Ma Dalla 'Alaihi Al-Qur'an, mengutip dari buku Tarikh al-Yamini bahwa dalam sebuah penaklukan yang dilakukan oleh Sultan Mahmud bin Sabaktakin al-Ghaznawi terhadap sebuah kerajaan yang masih menganut paganisme di India ia menemukan lempengan batu di dalam sebuah istana taklukan. Pada lempengan tersebut terpahat tulisan, "Istana ini dibangun pada malam terbelahnya bulan, dan peristiwa itu mengandung pelajaran bagi orang yang mengambil pelajaran."

Ibn Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah vol. 3 hal. 130, juga menyebutkan adanya riwayat dari India yang menceritakan tentang terbelahnya bulan. Juga dalam Mustadrak al-Hakim vol. 4 hal. 150 menyebutkan riwayat tentang kedatangan raja India dan pertemuannya dengan Nabi Muhammad SAW. Abu Said al-Khudri ra berkata: "Raja India memberikan hadiah seguci jahe pada Nabi Muhammad SAW. Para sahabat memakannya sepotong-potong. Aku juga turut memakannya".

Di internet banyak beredar foto dari NASA yang diambil oleh awak Apollo 10 dari jarak sekitar 14 km di atas permukaan bulan pada tahun 1969 yang memperlihatkan permukaan bulan seperti pernah terbelah dan membentuk suatu garis sepanjang ratusan kilometer. Benar atau tidaknya hal tersebut masih membutuhkan penelitian dan pembuktian ilmiah lebih lanjut.

Bisa jadi suatu saat nanti manusia dengan kekuatannya (ilmu dan pengetahuan) mampu melakukan pendaratan kembali ke bulan dan melakukan eksplorasi lebih jauh tentang bulan sehingga jejak (bekas) bahwa bulan pernah terbelah dapat dibuktikan secara ilmiah. “Hai jemaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan” (Qs. Ar Rahmaan : 33).

Tanda-tanda (mukjizat) yang diberikan Allah, untuk memperkuat para rasul Nya dan sebagai pertolongan atas mereka, menunjukkan dengan pasti akan keberadaan Allah SWT yang maha perkasa dan maha kuasa atas segala sesuatu.

Saya sebagai muslim mempercayai peristiwa terbelahnya bulan karena memang benar termaktub dalam Al Qur’an dan hadist Rasulullah SAW, kalaupun masih ada yang tidak percaya, jangankan jaman sekarang, pada masa Rasulullah SAW yang menyaksikan langsung peristiwa tersebut saja masih ada yang tidak percaya, apalagi saat ini. Tapi sekali lagi hal ini semakin membuktikan kebenaran Al Qur’an itu sendiri tentang adanya sebagian orang yang mendustakan suatu kebenaran seperti yang dimaksud dalam surat Al Qamar tersebut di atas.

Percaya atau tidak, selanjutnya terserah anda.

“Ambilkan bulan bu, yang slalu bersinar di langit... ambilkan bulan bu, untuk menerangi tidurku yang lelap di malam gelap.....
Share

Sabtu, 26 Februari 2011

Seribu Kata Seribu Doa


Suatu pagi di sudut ruang tengah, seorang anak sedang makan dengan lahapnya bersama ayah dan ibunya, ketika tiba-tiba dia tersedak dan memuntahkan sebagian isi makanan dalam mulutnya, ayah seketika menghentikan membaca koran dan berkata “kalau makan pelan-pelan dong ! kamu tahu tidak ? makanan itu dibeli pakai uang dan mencari uang itu susah, ayo dihabiskan makannya !”

Siang harinya giliran ibu yang marah karena mangkuk kesayangannya pecah terkena lemparan bola dari si anak, “ibu sudah berkali-kali bilang, kalau main bola jangan di dalam rumah ! lihat nih berantakan semuanya, dasar anak nakal...”.

Menjelang sore tiba waktunya si anak untuk belajar, sudah dua kali diperintahkan untuk belajar tapi dia masih asyik menonton tv, segera ayah mematikan tv lalu berkata “kamu mau jadi anak bodoh ya ? dasar pemalas !orang yang tidak mau belajar itu bisa jadi bodoh, anak bodoh nanti tidak naik kelas, kalau sekolahnya tidak tinggi nanti cari kerja susah, kalau tidak kerja tidak punya uang dan tidak bisa makan enak, kamu mau begitu ? ayo belajar !”

Dari deskripsi di atas sepanjang pagi hingga sore sudah berapa banyak kata-kata negatif yang diucapkan oleh kedua orang tuanya ? sebut saja : mencari uang itu susah, anak nakal, anak bodoh, anak pemalas, tidak naik kelas, cari kerja susah, tidak punya uang dan tidak bisa makan enak.

Di sekolah, pernah suatu saat ibu guru bertanya sesuatu kepada murid-muridnya, lalu dengan penuh semangat dan keyakinan yang tinggi si anak mengacungkan tangan dan menjawab pertanyaan tersebut dengan lantang, lalu apa yang terjadi ? Teman-teman sekelasnya menertawakannya dan ibu guru berkata “Jawaban kamu salah, ibu heran pertanyaan semudah itu kok kamu tidak bisa menjawab dengan benar, makanya jangan jadi orang yang tergesa-gesa !” Anak itu menjadi sangat malu dihadapan teman-teman dan guru. Bisa jadi keyakinannya mulai terguncang dan benih keraguan mulai tersemai dalam jiwanya, bagi sebagian orang inilah awal terbentuknya citra negatif diri dan belajar menjadi sesuatu yang sangat berat dan tidak menyenangkan.

Sebuah riset yang dilakukan oleh Jack Canfield di tahun 1982 terhadap 100 anak di sejumlah sekolah dasar di USA mengungkapkan bahwa setiap anak dalam sehari rata-rata menerima 460 komentar negatif dan hanya 75 komentar positif yang bersifat mendukung. Ternyata komentar negatif enam kali lebih banyak dari komentar positif, jika dihitung berarti seorang anak rata-rata menerima 3.220 komentar negatif dalam seminggu, 13.800 dalam sebulan dan 167.800 dalam setahun, lalu berapakah umur anak kita sekarang ? sudah berapa banyak kata-kata negatif yang ia terima dari kita?

Umpan balik negatif yang terus menerus dan berkesinambungan sangat berbahaya bagi perkembangan mental anak, bisa jadi setelah dewasa ia akan menjadi orang yang seperti diucapkan oleh orang-orang terhadap dirinya, seperti misalnya mudah menyerah mempelajari sesuatu setelah satu atau dua kali gagal dan keyakinan semakin tertanam bahwa dirinya memang bodoh.

Coba kita perhatikan pada saat anak sedang belajar berjalan, suatu proses belajar yang cukup rumit baik secara fisik maupun mental dan sepertinya mustahil untuk dijelaskan dengan kata-kata atau mendemonstrasikannya. Tapi ternyata si anak bisa melakukannya walaupun berulang kali tersandung dan terjatuh. Mengapa demikian ? Hal ini bisa terjadi karena pada diri si anak tidak mengenal konsep kegagalan, pada saat belajar berjalan ada orang tua yang mendampingi, meyakinkan dan mendorong untuk terus belajar berjalan, setiap keberhasilan selalu diakhiri dengan kegembiraan dan tepukan tangan sehingga memompa semangat si anak untuk lebih berhasil.

Manusia mempunyai dua macam bentuk pikiran. Pertama pikiran sadar yang berfungsi mengidentifikasi informasi yang masuk, membandingkan dengan data yang ada dalam memori kita, menganalisanya dan memutuskan apakah akan disimpan, dibuang atau diabaikan sementara. Kedua adalah pikiran bawah sadar yang mempuyai fungsi jauh lebih komplek, yaitu mengatur cara kerja semua fungsi organ tubuh kita, nilai-nilai yang kita pegang, sistem kepercayaan dan keyakinan terhadap segala sesuatu juga disimpan di sini termasuk memori jangka panjang kita.

Sebuah contoh bahwa pikiran bawah sadar mengendalikan sebagian besar pemikiran dan tindakan kita, bayangkan jika tiba-tiba dihadapan kita dalam jarak yang cukup dekat ada seekor ular kobra yang besar dengan suara yang mendesis, lidah yang menjulur-julur dan tatapan matanya yang tajam ke arah kita. Pasti sebagian besar dari kita akan berteriak dan lari ketakutan. Bagaimana jika sejak kecil kita diberitahu bahwa kobra itu mendatangkan rejeki, orang tua kita bisa sukses dan rumah yang kita tempati ini adalah hasil dari berjualan kobra. Apakah kita akan lari? Pasti tidak dan akan berkata “pucuk dicinta ulam pun tiba, ada rejeki di depan mata...”.

Pikiran bawah sadar tidak bisa menolak apapun yang kita masukkan melalui kelima panca indera, bahkan hal-hal yang tidak kita perhatikan secara sadar akan terekam dalam pikiran bawah sadar. Bagaimana dengan anak-anak kita ? Perhatikanlah apa yang berulang kali kita lakukan, ucapkan dan pikirkan terhadap anak-anak. Itulah yang nantinya akan membentuk mereka, dari bahan dasar ini mereka akan mengembangkan diri mereka melalui pergaulan dengan lingkungan.

Dalam keseharian saya coba untuk mengganti kebiasaan mengucapkan kata-kata negatif terhadap anak-anak dengan kata-kata positif sekecil apapun. Ketika si kecil tidak mau makan, saya katakan “ayo anak cantik dan pintar pasti makannya dihabiskan biar tambah cantik dan pintar...”. Ketika anak malas belajar, saya katakan “kaka kan anak pintar, kalau rajin belajar pasti tambah pintar, papa mama tambah sayang dan tidak segan kasih hadiah...” atau ketika si anak melakukan sesuatu yang kita tidak berkenan : “eee anak pintar, tidak boleh begitu ya...” dst.

Ada perbedaan ketika kita sebenarnya sedang marah lalu mengucapkan kata-kata positif dibandingkan mengucapkan kata-kata negatif. Kata-kata positif ternyata saya rasakan mampu meredam emosi dan membuat kita tambah sabar. Coba bayangkan jika kita mengucapkan kata-kata negatif dengan penuh emosi dan si anak tidak memperdulikannya, pasti kita tambah marah dan bisa jadi jika seseorang yang sempat berucap “dasar anak setan...” atau “dasar anak tak tau diuntung...” berujung pada kekerasan fisik terhadap si anak.

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Tiga orang yang doanya pasti terkabulkan, doa orang yang teraniaya, doa seorang musafir dan doa orang tua terhadap anaknya". Dari Abdullah bin Amr bin Ash, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua”.

Banyak kisah yang menggambarkan bahwa betapa manjurnya perkataan atau doa ibu atau ayah terhadap anaknya baik yang diucapkan secara sadar maupun tidak, berikut ini adalah salah satu kisahnya.

Seorang ibu tergopoh-gopoh mendatangi anaknya yang menangis sambil menunjuk-nunjuk dengkulnya, terjadilah dialog dalam bahasa Jawa yang artinya kurang lebih sebagai berikut “Ada apa nak kok menangis terus?”, “Ini bu ada kotoran ayam, buang bu!”, ibunya pun segera membuang kotoran yang menempel di dengkul si anak tapi tangis si anak tidak berhenti dan berkata “Kembalikan! Kembalikan!”, lalu ibunya menempelkan kembali kotoran tersebut dan tangis si anak malah semakin keras “Kok tidak sama? Kok tidak sama” sambil tersenyum dan mencari kotoran lainnya, ibu pun bergumam “Ya sudah tidak apa-apa asal besok besar jadi Jendral”

Empat puluh tahun kemudian, seorang anak yang pernah membuat repot ibunya dengan kotoran ayam itu benar-benar menjadi seorang Jendral, dialah Jendral Soebagyo HS mantan Kepala Staf TNI-AD, subhanallah....

Wahai ayah ibu, jagalah lisanmu! Bahwa pada hakekatnya setiap perkataanmu terhadap anakmu adalah doa maka seribu kata kebaikan adalah seribu doa kebaikan dan seribu kata keburukan adalah seribu doa keburukan.
Share

Sabtu, 08 Januari 2011

Amalan Penggugur Dosa & Peninggi Derajat


Suatu hari tak seperti biasanya Rasulullah SAW terlambat ke masjid untuk mengimami sholat Shubuh. Matahari hampir saja terbit, ketika akhirnya beliau datang dengan tergegas dan langsung memimpin sholat dengan bacaan yang cukup pendek untuk mempercepat sholat.

Usai mengucapkan salam, Rasulullah SAW menghadap ke arah para sahabat seraya berkata “ Tetaplah ditempat kalian, aku akan menceritakan mengapa aku terlambat mengimami sholat. Semalam aku terbangun dan setelah usai mengerjakan sholat, aku terserang kantuk yang sangat berat sehingga aku tak kuat menahan dan akhirnya tertidur”.

“Aku bermimpi, tiba-tiba aku merasa berada di hadapan Allah dan bertanya kepadaku,’tahukah apa yang sedang diperbincangkan para malaikat terhadap kalian?’ Kujawab tidak tahu dan pertanyaan itu diulang sampai tiga kali. Kemudian tiba-tiba kedua bahuku terasa dingin dan seketika segalanya tampak jelas serta aku mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut ketika ditanyakan kembali”.

“Aku menjawab, ’mereka berbincang tentang kafarat,
amalan-amalan penghapus dosa’. ’Apakah kafarat tersebut...?’. Jawabku, ‘melangkahkan kaki menuju masjid untuk sholat berjamaah, tetap berdiam setelah sholat untuk berzikir kepada Allah dan tetap menyempurnakan wudhu meski cuaca sedang sulit (cuaca dingin dan panas)’”.

“’Kemudian tentang apa lagi...?’. ’Tentang
amalan yang dapat mengangkat derajat manusia’.’Amalan apa saja?’. Jawabku, ‘menyantuni orang miskin, berkata dengan lembut kepada orang lain serta mengerjakan sholat malam disaat kebanyakan orang sedang terlelap’”.

“Kemudian Allah berkata, ‘mintalah kepada Ku..!’, lalu aku bermohon, ‘Ya Allah, aku mohon kepada Mu segala perbuatan baik, kekuatan meninggalkan kemunkaran, mencintai orang miskin dan agar Engkau senantiasa mengampuni dan merahmatiku. Jika Engkau menghendaki cobaan pada suatu kaum, jagalah diriku agar tidak terkena fitnah. Aku memohon kemampuan mencintai Mu, mencintai orang-orang yang mencintai Mu serta amal-amal yang mendekatkan pada kecintaan Mu’”.

Usai bercerita, Rasulullah SAW bersabda : “ Ini adalah kebenaran maka pelajarilah dan ajarkanlah kepada orang lain”.

Demikianlah, agar senantiasa
dirahmati Allah dan diampuni dosa dan kesalahan kita, dianjurkan untuk memperbanyak sholat berjama’ah dan memperbanyak zikir kepada Allah serta tetap menyempurnakan wudhu. Kemudian untuk meninggikan derajat kita di sisi Allah, perbanyaklah menyantuni orang miskin, berkata dengan lembut kepada orang lain serta senantiasa mengerjakan sholat malam disaat kebanyakan orang sedang terlelap.
Share